Menolak Turis China

oleh -718 views
oleh
718 views
Rombongan turis Kunming China di Sekolah Tinggi Ilmu Beruk (STIB) Apar Pariaman, Minggu 26/1 (foto: dok/pr-mrw)

Oleh :
AR. Rizal

SEJUMLAH orang berjaga-jaga di depan pekarangan sebuah hotel berbintang. Rintik hujan tak dipedulikan. Mereka sedang menjalankan misi mulia, menjagal wisatawan dari China.

Beberapa hari ini, terjadi gelombang penolakan terhadap kedatangan turis China ke Sumbar. Rombongan dari Kunming yang terlanjur datang jadi bulan-bulanan di lini massa. Ada carut-marut, ada makian. Di dunia nyata, sejumlah orang membentang spanduk besar, hingga melakukan penghadangan di jalan. Sepintas, miris memang. Sebegitu tak beradapnya lagi orang-orang di ranah ini terhadap orang yang datang.

Di Sekolah Tinggi Beruk Kampung Apar Pariaman, wisatawan China itu membaur dengan masyarakat. Mereka berebut kelapa muda yang baru dipetik oleh beruk dari pohonnya. Seorang bocah meminum kelapa muda. Tanpa sedotan. Cara bocah itu minum membuat siapa saja yang melihat merasa tergelitik. Rasanya, tak tega memaki-maki atau menghakimi bocah China yang imut itu.

Penolakan terhadap turis China ini konon ditenggarai karena ketakutan akan merebaknya virus corona. Virus mematikan yang berasal dari Kota Wuhan, Tiongkok. Jutaan orang di kota itu sudah diisolasi. Ketakutan itu sangatlah beralasan. Namun, ketakutan jangan sampai membunuh derajat kesantunan kita.

Sejumlah orang seolah-olah sudah menghakimi kalau turis dari Kunming itu bisa membawa virus Corona. Siapa saja berhak menghakimi. Namun, penghakiman itu jangan sampai membunuh rasa kemanusiaan kita. Wisatawan dari Kunming itu pasti tak ingin pula mati konyol gara-gara virus corona. Mereka bisa jadi adalah orang-orang yang lebih takut dari kita terjangkit virus corona. Jadi, mari menganggap para turis itu sebagai manusia. Ya, sebagai manusia. Bukan sebagai orang China.

Saya berharap penolakan terhadap turis China itu sebenar-benarnya hanya karena ketakutan atas merebaknya virus corona. Karena, di lini massa, penolakan itu terkesan didasari oleh alasan yang lain. Banyak kata-kata rasis yang dialamatkan kepada turis China itu. Banyak kata-kata rasis di tengah hiruk-pikuk virus corona.

“Jadi orang rakus sih, semua dimakan.” Begitu kata-kata rasis itu. Kalau menuding semua dimakan, itu sama saja menyebut mereka tak ubahnya dengan binatang pemakan segala. Padahal, pasar penjual segala hewan itu tak hanya ada di China, di Indonesia saja ada. Jadi, tak pantas kata-kata rasis itu diucapkan.

Baiklah, kita menolak turis dari China. Itu penting agar virus corona tidak menyebar pula di sini. Tapi, kalau menolak, jangan hanya menolak turis China saja. Saat ini, virus corona sudah menyebar ke berbagai belahan dunia. Virus corona sudah ditemukan di Singapura, negara tetangga kita. Orang Singapura yang berkunjung ke negeri kita juga bisa menularkan virus corona. Jadi, agar adil, sebaiknya ditolak semua orang-orang dari negara yang sudah terpapar virus corona.

Penolakan turis China ke ranah Minang janganlah disebabkan kebencian dan rasisme kita terhadap bangsa China. Kebencian ras dan rasisme tak ada dalam kamus orang Minang.

Setelah PRRI, tentara Dewan Banteng dikalahkan oleh tentara dari Jawa. Orang Minang sangat terpukul. Mereka mencari tanah perantauan untuk membangkik batang tarandam. Tak beberapa lama setelah PRRI, orang Minang pertama kali menerima transmigrasi dari Jawa. Ini membuktikan bahwa orang Minang itu bukan penyimpan dendam, penyimpan kebencian, apalagi rasis.

Bocah kecil itu melompat-lompat kegirangan sambil bermain-main dengan anak beruk. Tak ada takut di wajahnya. Ia membiarkan rambut panjangnya dibelai oleh beruk kecil. Dahulu, ayah saya berpesan. Kalau mencari istri, carilah gadis China yang berambut panjang. Bia rang awak, bia rang Cino. Hati lah kanai ka baa juo.*(analisa/sumber: facebook/wag: top100)