Analisis Dampak Kebijakan Pembangunan Ruas Jalan Trans Papua

oleh -445 views
oleh
445 views

AKSESIBILITAS merupakan salah satu penentu kemajuan sebuah bangsa. Jalan dan transportasi darat misalnya, menjadi sumbu penghubung antara titik produksi dengan pasar.

Kehadiran aksesibilitas jalan dan transportasi, selain memberikan kemudahan transportasi khususnya transportasi darat untuk masyarakat, tetapi juga dapat meningkatan produktifitas masyarakat, baik itu pertanian, peternakan, perkebunan dan kehutanan serta perikanan dan kelautan. Aksesibilitas yang baik dan lancar, diharapkan kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat, termasuk dengan pertumbuhan ekonomi di daerah.

Papua adalah salah satu wilayah yang terisolasi hingga saat ini. Selain memiliki wilayah yang luas, 3 kali lebih besar dari Pulau Jawa, namun, sejak Papua masuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1963, akses transportasi khususnya transportasi darat di kawasan tersebut belum dibuka secara optimal.

Masyarakat Papua, khususnya wilayah yang berada dekat dengan perairan, hanya bisa menggunakan transportasi laut untuk bepergian dari satu titik ke titik yang lain. Sementara untuk kawasan pegunungan, satu-satunya akses transportasi yang dibutuhkan adalah transportasi udara.

Kesulitan akses transportasi inilah, mendorong Pemerintah melakukan gebrakan untuk mulai membangun Papua. Tujuannya adalah menggiatkan pembangunan infrastruktur dan konektivitas antarwilayah di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Jalan Trans-Papua membentang dari Kota Merauke, Provinsi Papua hingga Kota Sorong, Provinsi Papua Barat, dengan panjang sekitar 4.330 kilometer.

Pembangunan jalan ini masuk dalam proyek strategis nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Kehadiran jalan Trans-Papua sangat menguntungkan karena bisa memangkas waktu distribusi barang dan membuat harga bahan menjadi lebih terjangkau. 

Salah satu target pembangunan yakni membangun ruas jalan Trans Papua yang menghubungkan dari satu daerah ke daerah yang lainnya dengan jalan darat. Alhasil, hingga saat ini tercatat sepanjang 3.259,45 km di Provinsi Papua – Provinsi Papua Tengah – Provinsi Papua Pegunungan – Provinsi Papua Selatan dan 1.070,62 km di Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya.

Sejak tahun 2015 itulah, Pemerintah Pusat membuat Kebijakan yang telah memulai konsentrasi untuk membangun sejumlah ruas jalan di Tanah Papua. 

Jalan Trans Papua, yang menghubungkan antar provinsi dan antar kabupaten di 5 provinsi di Tanah Papua, diharapkan selain membuka keterisolasian wilayah, tetapi lebih pada meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua, yang selama ini terkendala pada banyak hal, mulai dari akses pendidikan, kesehatan, ekonomi, harga bahan kebutuhan pokok hingga bahan bakar minyak, dan masih banyak lagi impact dari adanya kebijakan ini.

Namun, kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membuka akses jalan antar daerah, pembangunan Jalan Trans-Papua menuai perdebatan antar masyarakat.  Jalan Trans-Papua dinilai mengganggu sumber penghidupan dan meningkatkan komersialisasi pemanfaatan hasil alam masyarakat adat.

Dari segi kelestarian lingkungan, jalan Trans-Papua memberikan dampak yang tidak baik terhadap ekosistem hutan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memprediksi pembangunan jangka panjang proyek Jalan Trans-Papua dapat memusnahkan 12.469 hektare tutupan hutan atau sekitar tiga kali daripada kota Yogyakarta. Sementara 4.772 hektare lahan yang terancam merupakan hutan lindung. 

Hilangnya tutupan hutan dan hutan lindung berdampak pada terancamnya keberadaan flora dan fauna yang dilindungi, seperti Anggrek Kasut Ungu dan Kanguru Pohon Mbaiso yang merupakan makhluk hidup endemik di beberapa area hutang di sekitar jalan Trans-Papua.

Atas dampak yang telah terjadi dan diprediksi akan bertambah buruk, WALHI menyarankan pemerintah untuk membangun jalan yang ramah terhadap lingkungan dengan merujuk pada penelitian dan refrensi yang terpercaya. Selain itu WALHI juga berpesan agar dibuatkannya peraturan daerah atau keputusan gubernur atau bupati/walikota terkait perlindungan serta pengakuan wilayah kelola adat dan masyarakat adat.

Untuk itu, dalam artikel ini kita akan lebih menitikberatkan pada bagaimana analisis terhadap tantangan pembangunan ruas jalan di Papua untuk membuka keterisolasian wilayah dan meningkatkan ekonomi masyarakat, tetapi juga membahas tentang persoalan mendasar yakni berkurangnya flora dan fauna endemik di Tanah Papua.

Papua merupakan wilayah yang terisolasi selama kurun waktu hampir 5 dekade lamanya (1963-2014). Minimnya perhatian terhadap Papua, menimbulkan konflik yang berkepanjangan di Tanah Papua, yang merupakan akumulasi persoalan masa lalu yang belum tuntas.

Pergerakan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan munculnya KKB di mana- mana, menambah daftar panjang jika tidak diselesaikan dengan kebijakan yang memihak terhadap pemberian hak- hak dasar masyarakat, untuk pelayanan pendidikan, pelayanan kualitas kesehatan serta pertumbuhan ekonomi yang memadai untuk pembangunan di Tanah Papua.

Dr. Agus Irianto Sumule, dalam tulisannya pernah menyampaikan persoalan urgen yang terjadi di Tanah Papua adalah banyaknya alokasi anggaran yang masuk ke Papua, namun jumlah rakyat miskin pun semakin banyak. Dalam upaya mengatasi persoalan ini, tentu dibutuhkan kebijakan publik yang tepat, tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja, tetapi juga harus ditindaklanjuti dengan kebijakan di daerah yang memadai.

Pemerintah pusat yang telah melakukan gebrakan membangun ruas jalan trans Papua, harus juga diikuti dengan kebijakan Gubernur, Bupati dan Walikota se Tanah Papua, untuk menjawab sejumlah persoalan tersebut di atas.

Selain 3 tantangan di atas, Tanah Papua pun menjadi lahan emas bagi warga dari daerah lain untuk mencari pekerjaan di atas Tanah Papua. Askes yang semakin terbuka inilah, menjadi salah satu tantangan ke depan yang butuh kebijakan yang tepat. Dengan kapasitas yang terbatas, tentu dampak dari masuknya populasi baru di Tanah Papua, menimbulkan jurang pemisah antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat Nusantara. Pola penekanan angka masuknya populasi baru ke Tanah Papua perlu mendapatkan perhatian bersama dari semua stakeholder.

Selian itu, pendekatan militer untuk menuntaskan pergerakan KKB di Tanah Papua juga menjadi ancaman serius bagi warga Papua. Untuk itu, Pemerintah harus mengambil kebijakan yang tepat, agar di satu sisi tidak menimbulkan persoalan baru, tetapi juga keamanan dan kenyamanan warga yang mendiami sejumlah daerah di Papua pun terjaga dan terlindungi.

Aksesibilitas yang semakin terbuka saat ini, terutama akses jalan, tentu juga akan membawa dampak perusakan terhadap kerusakan hutan. Penebangan liar dengan perijinan yang tidak memadai, menyebabkan hutan terutama kayu-kayu produksi seperti merbau dan meranti akan lenyap dalam waktu yang lama jika tidak dilakukan kebijakan pengawasan yang optimal. Praktek-praktek ilegal yang masih terjadi dalam usaha kehutanan, menimbulkan terjadinya kolusi dan nepotisme antara aparat penegak hukum dengan pengusaha kayu. Praktek-praktek ilegal ini pun berdampak pada menurunnya penegakan supremasi hukum di atas Tanah Papua.

Krisis di Papua bukanlah tantangan yang dapat diatasi dengan solusi instan. Diperlukan upaya terkoordinasi dari berbagai pihak dan implementasi kebijakan publik yang bijak. Mengatasi krisis Papua bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan dasar rakyat Papua saat ini, tetapi juga tentang membangun fondasi yang kokoh untuk mempertahankan Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia.

Kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah untuk memberikan perhatian yang serius kepada Papua, harus diikuti dengan komitmen yang bagus dari sejumlah kepala daerah (Gubernur-Bupati-Walikota) di Tanah Papua. Kebijakan yang positif menuju Papua yang lebih baik dan maju serta setara dengan daerah lain di Indonesia, (analisa) 

Oleh: Antonio Gilberth Ogilvie Nirom
Mahasiswa UNAND