Oleh: Munzir Busniah, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas
Lonjakan alokasi anggaran untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam RAPBN 2026 yang mencapai Rp335 triliun dari hanya Rp71 triliun pada tahun sebelumnya, menunjukkan komitmen luar biasa pemerintah terhadap pembangunan sumber daya manusia. Awalnya, banyak yang memandang MBG sebagai intervensi gizi semata. Padahal, jika dicermati lebih dalam, MBG adalah pintu masuk menuju transformasi pertanian nasional yang selama ini masih ditangani secara tradisional.
MBG bukan sekadar program makan siang. MBG merupakan strategi besar untuk membangun manusia Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif. Namun untuk mewujudkannya, tidak bisa hanya bicara di hilir, atau bicara tentang dapur dan menunya. Harus dibicarakan lebih ke hulu, tentang sawah, kebun, tambak, koperasi, logistik, dan teknologi pendukungnya. Bicara tentang transformasi pertanian untuk memenuhi kebutuhan MBG.
Tantangan dari Piring MBG ke Produksi Pertanian
Pada akhir 2025, diperkirakan ada sekitar 50 juta siswa yang telah akan menerima MBG setiap hari. Selanjutnya pada 2026, jika semua siswa menerima MBG, serta ditambah dengan ibu hamil, menyusui, dan kelompok rentan lainnya yang juga penerima MBG, maka akan ada sekitar 82 juta orang yang menerima MBG.
Untuk melayani penerima MBG tersebut dibutuhkan sekitar 30.000 SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) di seluruh Indonesia. Setiap SPPG melayani 3.000–4.000 orang per hari.
Artinya, MBG membutuhkan bahan pangan harian yang sangat besar serta harus memenuhi standar gizi, higienitas, dan kualitas. Misalnya, jika satu porsi MBG membutuhkan 60 gram daging ayam, maka dibutuhkan 180 kg daging ayam segar per hari. Ini bukan ayam hidup, tetapi daging ayam segar yang sudah dipotong dan siap dimasak. Tentu saja hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh pedagang ayam pasar tradisional. Untuk itu dibutuhkan rumah potong unggas tersertifikasi di sentra produksi unggas.Ini bukan tantangan kecil, tetapi tantangan sistemik. Petani harus mampu menjawab tantangan tersebut.
Potret Petani yang Masih Tradisional
Pemandangan yang biasa terlihat sehari-hari saat ini adalah sebagian besar petani menjual panennya ke pasar lokal dalam jumlah kecil dan tanpa standar mutu. Kemudian, pedagang pengumpul mendistribusikan ke pasar tradisional, serta konsumen (restoran dan ibu rumah tangga) membeli secara harian. Hanya sedikit sekali yang menggunakan teknologi penyimpanan, pengolahan dan distribusi. Sistem ini cocok untuk skala kecil namun tidak cocok untuk melayani SPPG yang menuntut pasokan besar, konsisten, dan terstandar.
Tanpa perubahan mendasar, SPPG dan MBG berisiko bergantung pada pangan impor atau produk industri besar yang justru menjauhkan kita dari cita-cita kedaulatan pangan. Padahal, MBG bisa menjadi momentum untuk mentransformasi pertanian nasional.
Transformasi dari Petani ke Produsen Gizi
Untuk menjawab tantangan MBG, maka diperlukan transformasi pertanian nasional dalam tiga dimensi: kelembagaan, teknologi, dan pola pikir.
Editor : Redaksi