Membuka Objek Wisata Ketika Pandemi Masih Melanda

oleh -730 views
oleh
730 views
Zaki Fahminanda (dok)

Oleh:

Zaki Fahminanda, S.STP, MPA
Purna Praja STPDN AKT XVI, Magister Public Administration Univ. Gadjah Mada

INDONESIA kita jadi negara kepulauan di dunia, tentunya adalah surga bagi para wisatawan mancanegara yang ingin berlibur setiap tahunnya. Dengan banyaknya kelebihan yang dimiliki, seperti iklim, cuaca serta eksotisme adat, budaya, kuliner dan tentu saja alamnya, Indonesia seakan mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda jika dibandingkan dengan negara-negara lain di benua Asia.

Tercatat, Indonesia mendapatkan kunjungan wisatawan asing sebanyak 16,11 Juta orang pada tahun 2019 lalu (Data Kompas). Dampak kunjungan tersebut tentu banyak sekali, mulai dari penerimaan devisa bagi negara, pendapatan daerah, penyerapan investasi dan tenaga kerja hingga pengembangan UMKM di setiap provinsi di Indonesia.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Whisnutama Kusubandio menyebutkan bahwa realisasi devisa dari sektor pariwisata pada tahun 2019 mencapai Rp. 280 Trilliun, meningkat 10 trilliun dari tahun sebelumnya. Sektor Pariwisata yang melibatkan tenaga kerja sebanyak 13 juta orang tersebut, berkontribusi pada Pendapatan Domestik Bruto nasional sebesar 5,5%.

Oleh sebab itu, selain mengandalkan sumber daya alam dan mineral yang diyakini bisa habis beberapa tahun kedepan, Indonesia juga mempunyai potensi sangat besar dalam dunia pariwisata yang bisa dijadikan salah satu pondasi perekonomian negara kedepannya.

Namun target Kemenparekraf meningkatkan kunjungan wisman sebanyak 20 Juta orang pada tahun 2020 ini, sepertinya masih akan jauh dari realisasi. Memasuki bulan ke-6 tahun 2020, pariwisata di Indonesia dipaksa berhenti akibat adanya pandemi Covid-19 di sejumlah negara penyumbang wisman ke Indonesia.

Sejumlah negara menerapkan aturan pembatasan travelling bagi masyarakatnya baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Akibatnya, kunjungan wisman ke Indonesia pada periode bulan Januari hingga April 2020, hanya sebanyak 2,77 juta orang saja, menurun 45,01 % jika dibandingkan periode yang sama tahun 2019 lalu, sebanyak 5,03 Juta orang (Data Kemenparekraf).

Dampak pandemi ini memang tidak main-main. Dengan menurunnya kunjungan wisman ke Indonesia, tentunya akan menghasilkan dampak berantai bagi beberapa sektor perekonomian yang bergerak di bidang pariwisata.

Kita hitung saja, mulai dari biro perjalanan wisata. Banyak terjadi pembatalan rencana perjalanan wisata yang telah diagendakan sebelumnya. Hal ini mengakibatkan biro perjalanan wisata terpaksa mengembalikan uang para konsumen dan terkadang tidak mendapatkan kompensasi dari tiket hangus yang sebelumnya sudah dipesan. Sekjen Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo), Pauline Suharno menyebutkan total kerugian seluruh perusahaan travel di Indonesia sampai akhir Februari lalu, sudah mencapai Rp. 4 Trilliun.

Kemudian perhotelan. Hotel yang sering mengandalkan dukungan dari biro perjalanan tentu juga merasakan dampaknya. Dengan tidak ada support dari biro perjalanan, tingkat hunian hotel tentu akan jauh lebih berkurang dari sebelumnya.

Di Provinsi Bali, sebagai daerah dengan tingkat kunjungan wisman tertinggi, tingkat hunian hotel mencapai kondisi terburuk sepanjang masa dengan capaian o% (zero). Lebih parah dari tragedi Bom Bali I dan II yang masih bisa mencapai 20 %, ataupun bencana erupsi Gunung Agung yang mencapai 60% (Data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kab. Badung).

Dampak dari hunian tersebut tentu pada kegiatan operasional hotel. Jika tamu tidak ada, tentu kegiatan operasional tidak bisa dijalankan. Efeknya, hotel bisa mati suri bahkan bisa bangkrut/tutup.

Secara nasional, disampaikan oleh Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani, sejak april 2020 bahkan tercatat sudah 1.226 Hotel di seluruh Indonesia yang tutup. Penutupan hotel tersebut berimbas pada karyawan-karyawan mereka, yang sudah pasti dirumahkan.

Jika per hotel ada 50 orang karyawan, berarti ada sekitar 61,300 orang yang tidak memiliki pekerjaan saat ini. Hitungan kasar ini masih terkhusus bagi tenaga kerja di bidang perhotelan saja, belum termasuk di bidang pariwisata lainnya yang kemungkinan lebih besar lagi.

Sektor selanjutnya adalah penyewaan kendaraan. Banyak para pengusaha rental kendaraan yang kesulitan untuk membayarkan cicilan kendaraan mereka yang tidak beroperasi. Dengan tidak adanya konsumen yang memesan, tentunya putaran uang untuk para pegawai, administrasi kantor dan cicilan untuk pelunasan kendaraan tidak ada juga. Meskipun ada yang memesan, namun dengan adanya larangan dan pembatasan sarana transportasi, tetap saja tidak bisa dilakukan secara optimal.

Hal ini belum dihitung dengan data sektor-sektor lainnya seperti seperti rumah makan/ restoran wisata, pusat oleh-oleh khas daerah serta UMKM pendukung dunia pariwisata yang justru mengalami kerugian yang cukup parah ketika pandemi Covid-19 ini terjadi.

Solusi Kebijakan

​Dengan pemberlakukan kebijakan new normal yang akan diambil oleh Pemerintah, tentu peluang mengembalikan geliat pariwisata dapat terbuka kembali. Salah satunya adalah dengan membuka kembali objek-objek wisata unggulan daerah.

Apresiasi yang cukup besar bisa diberikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, yang dalam waktu dekat akan melaksanakan kebijakan ini dengan tagline New Normal Tourism atau Era Normal Baru Pariwisata Sumatera Barat. Pembukaan kembali objek-objek Pariwisata ini bisa dijadikan rangsangan bagi para pelaku usaha di bidang pariwisata untuk segera berpartisipasi.

​Melalui pembukaan objek-objek pariwisata, maka upaya pemulihan sektor pariwisata yang menopang kondisi perekonomian daerah bisa terwujud. Sektor-sektor pariwisata yang terdampak Covid-19 sebelumnya bisa kembali hidup dan bisa memunculkan multiplier effect terhadap perekonomian masyarakat.

​Namun kebijakan ini tentu tidak serta merta keluar begitu saja. Kebijakan ini tentu harus dibarengi dengan aturan keprotokolan yang ketat. Karena jika tidak, harapan untuk memulihkan kondisi perekonomian justru akan berbalik dengan resiko kesehatan masyarakat yang akan terancam.

​Pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah hingga para pelaku wisata seperti ASITA, PHRI dan organisasi lainnya tentu bisa duduk bersama merumuskan kebijakan khusus untuk mengawal pembukaan objek-objek wisata ini.

​Masukan dari seluruh pemangku kepentingan sangat diharapkan guna menciptakan kebijakan yang komprehensif agar pembukaan objek wisata dapat saling menguntungkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pihak swasta dan juga masyarakat.

Strategi Pelaksanaan

Pemberlakukan SOP (standar operasional prosedur) pada kegiatan kepariwisataan harus jelas. Mulai dari kebijakan yang harus dipatuhi travel agent / biro perjalanan, pihak perhotelan, pengelola objek-objek wisata, hingga para wisatawan yang akan berkunjung. Dapat kita contohkan sebagai berikut

Pertama, Biro perjalanan/ travel agent bisa memberlakukan aturan khusus mulai dari kondisi kesehatan para wisatawan yang akan memakai jasa mereka hingga fasilitas dan sarana prasarana transportasi yang disediakan harus telah tersterilisasi. Selain itu pembatasan penumpang pada setiap kendaraan harus tetap dilaksanakan.

Kedua, pihak perhotelan. Selain pemberlakuan standar protokol kesehatan bagi para tamu, pihak hotel juga diwajibkan melakukan standar yang sama bagi para staffnya. Membagi dua jalur jalan bagi staff hotel maupun para tamu dari kamar ke fasilitas-fasilitas hotel lainnya, sehingga potensi untuk berpapasan di lorong hotel bisa diminimalisir. Kemudian juga menjaga sterilnya fasilitas perhotelan, seperti restoran, kamar, hingga lift yang akan digunakan.

Ketiga, objek wisata. Social distancing dan penyediaan sarana prasarana kesehatan seperti tempat cuci tangan, hand sanitizer dan posko kesehatan wajib diberlakukan pada seluruh objek wisata. Selain itu jam kunjungan harus dibatasi dan akses masuk dan keluar para pengunjung harus dibedakan guna antisipasi penumpukan massa. Kemudian juga memperbanyak papan pengumuman dan staff yang menyampaikan informasi tentang protokol kesehatan kepada para pengunjung juga bisa membantu terlaksananya SOP dengan baik.

Keempat, minimalisir pemakaian uang cash dalam setiap transaksi di setiap objek dan fasilitas wisata. Hal ini dilakukan agar penularan virus melalui uang dapat dihindari. Untuk itu penyediaan sarana dan prasarana transaksi Cashless (Non Tunai) pada setiap objek dan fasilitas wisata harus dilakukan.

​Sebenarnya masih banyak SOP yang harus disediakan oleh pemangku kepentingan, namun pada intinya selain membuat aturan terkait protokol kesehatan, yang harus diperhatikan juga adalah keinginan untuk mematuhi aturan tersebut. Karena sebenarnya permasalahan utama dari penanganan dan pencegahan penyebaran Covid-19 ini adalah pada komitmen para stakeholders dan masyarakat dalam mematuhi seluruh aturan yang telah dibuat.

Kita akan menjumpai nantinya dilapangan 3 tipe stakeholders dan masyarakat dalam menyikapi aturan keprotokolan yang telah dibuat. Tipe pertama, stakeholders dan masyarakat yang tahu aturan dan taat pada aturan tersebut, Tipe yang kedua stakeholders dan masyarakat yang tahu aturan tetapi tidak menaatinya. Dan tipe ketiga adalah stakeholders dan masyarakat yang tidak tahu aturannya apalagi mematuhinya.

Dua tipe terakhir inilah yang akan membuat kebijakan membuka objek wisata agak sedikit membahayakan. Edukasi, Sosialisasi dan Kepatuhan kepada Peraturan adalah kuncinya. Jika sudah tidak mengindahkan hal-hal tersebut, maka jangan heran nanti jika objek-objek wisata menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.(analisa)