Menyederhanakan Parpol Lewat Pemilu Serentak

oleh -999 views
oleh
999 views
Defil
Defil

Oleh:

DEFIL
(Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi)

UNTUK menstabilkan roda pemerintahan perlu penyederhanaan partai politik di parlemen. Dengan partai politik (Parpol) yang sederhana, pemerintahan eksekutif dipimpin presiden, mudah melobi legislatif meloloskan kebijakannya. Program cepat disetujui, penyelesaian kinerja tepat waktu, otomatis pembangunan berjalan lancar. Kecil kemungkinan terjadi gejolak.

Berbeda jika Parpol di parlemen banyak atau multipartai seperti sekarang. Ketika akan mewujudkan program, pimpinan eksekutif terhambat karena banyak kepentingan petinggi partai. Setiap membahas program, akan terjadi perdebatan yang menghabiskan waktu panjang dan menguras tenaga.

Seperti terjadi di pemerintahan Presiden Jokowi-JK, kebijakan subsidi pada harga BBM, kebijakan soal BPJS, tax amnesty, keluarga berencana, dan lainnya ditentang banyak partai politik di parlemen. Terbaru soal UU Pemilu 2019, yang menurut KPU efektifnya disahkan 2016, namun karena banyak kepentingan, baru disahkan pertengahan 2017.

Dampaknya, tahapan pemilu 2019 terpaksa ditunda. Akibat penundaan, masa tahapan menjadi singkat. Jika berdasarkan UU lama 20 bulan, tapi di UU baru jadi 18 bulan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kinerja penyelenggara pemilu.

Seharusnya fenomena itu tidak terjadi kalau seandainya partai di parlemen dua hingga tiga saja. Seperti yang pernah ditegaskan Scott Mainwaring bahwa hanya sistem dua partai yang bisa menghindari kebuntuan dan konflik hebat eksekutif-legislatif, sebab sistem dua partai memfasilitasi lahirnya pemerintahan yang juga mendapat suara mayoritas di parlemen.

Tapi apa boleh buat, demokrasi Indonesia adalah penganut sistem multipartai. Kesempatan terbuka seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin mendirikan partai politik. Seperti diatur dalam pasal 28E ayat (3) UUD RI 1945 bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Mengurangi jumlah partai politik cuma bisa dilakukan dengan memberatkan syarat pendirian Parpol. Kemudian mengecilkan jumlah Parpol masuk parlemen dengan meninggikan parlimentery threshold (PT) atau ambang batas perolehan suara untuk masuk parlemen.

Pemilu 2014 PT diberlakukan 3,5 persen (Pasal 208, UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, DPRD). Dengan pasal tersebut dua partai politik peserta pemilu 2014, PBB dan PKPI, tumbang. Keduanya tidak diikutkan masuk parlemen karena tidak memenuhi ambang batas. Tapi tumbangnya dua partai tersebut masih menyisakan 10 parpol masuk parlemen. Yakni PDIP, Golkar, Demokrat, NasDem, PAN, Hanura, PKB, Gerinda, PKS dan PPP.

Pengalaman negara-negara yang lebih dulu menganut sistem presidensial, lebih dari empat parpol yang ada di parlemen sangat mengerikan untuk kelangsungan pemerintahan atau disebut dengan multipartai ekstrem. Makanya setiap kali sidang, membahas persoalan penting, selalu ribut, tidak jarang terjadi bentrok fisik.

Pemilu 2019 nanti, PT ditetapkan 4 persen. Ketentuan 4 persen menurut beberapa pihak masih terlalu kecil, jika memang ingin menyederhanakan partai. Seharusnya PT tersebut dicukupkan saja 5 persen.

Walau demikian, PT 4 persen sudah sangat tinggi bagi sebagian partai. Ini akan menjadi ancaman besar bagi partai kecil. Jumlah partai tidak ikut masuk parlemen bisa bertambah.

Jika pada pemilu 2014 ada dua parpol, maka bisa jadi pada pemilu 2019 ada tiga, empat, bahkan lima parpol yang akan tersingkir. Sebab pada pemilu 2019 nanti kemungkinan ada tambahan partai baru yang kekuatannya belum teruji, antara lain Perindo, PSI, PIKA, Partai Idaman, dan lainnya.

Tapi, tidak tertutup kemungkinan ancaman ini juga mengintai partai lama, seperti Hanura dan PPP, yang perolehan suaranya pada pemilu 2014 5,26 persen dan 6,53 persen. Kalau tidak bisa mempertahankan, dan turun sedikit saja, bisa jadi mereka juga jadi partai terbuang pada pemilu 2019 nanti. Kondisi ini buruk bagi sebagian partai, tapi bagus untuk keberlangsungan sistem presidensial yang dibangun.

Pemilu Serentak

Satu lagi instrumen penyederhanaan partai di parlemen adalah pemilu serentak. Yakni pemilu presiden dan pemilu legislatif nasional.

Parpol yang tepat dalam memilih figur calon presiden, maka akan menjadi pemenang pada pemilu nanti.

Sebaliknya, jika salah menentukan calon presiden, maka akan menjadi malapetaka bagi partai pengusung. Pemilu serentak ini tidak hanya mengancam parpol kecil, tapi juga partai besar.

Di sisi lain, ini bagus untuk sederhanakan partai politik di parlemen. Dengannya, pemerintahan yang efektif akan terwujud. Seperti kajian Payne dan kawan-kawan, dalam buku “Menata Ulang Jadwal Pilkada, Menuju Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah”, pemilu serentak tidak hanya berhasil menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen, tetapi kemungkinan besar juga bisa membentuk pemerintahan kongruen (efektif). Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan pemilu serentak mampu membentuk pemerintahan kongruen: pertama keterpaksaan partai-partai berkoalisi sebelum pemilu; kedua, terjadinya coattail effect, di mana preferensi calon presiden mengarahkan pemilihan partai politik yang mengusung calon presiden.

Menurut Shugart dalam buku yang sama menjelaskan, dalam pemilu serentak, pemilih akan memilih presiden sekaligus partai atau koalisi partai pendukung presiden. Ini terjadi karena pemilih merasa memilih presiden atau pemilihan presiden dianggap lebih penting daripada memilih anggota parlemen atau pemilihan anggota parlemen.

Kondisi ini lah yang akan terjadi pada pemilu nasional 2019 nanti, di mana figur calon presiden akan mempengaruhi keterpilihan partai pengusung calon presiden. Terlebih sekarang sedang hangat politik keterkaitan dengan isu PKI, SARA, dan sedang menjadi bulan-bulanan di media sosial.

Pemerintah Lokal

Pemerintahan efektif dan stabil juga akan terjadi di tingkat lokal seandainya pemilu di daerah diserentakkan. Yakni pemilihan gubernur dengan pemilihan DPRD provinsi dan pemilihan bupati/walikota dengan pemilihan DPRD kabupaten/kota). Terlebih seandainya koalisi parpol di tingkat pusat berlanjut sampai daerah. Kemudian jarak antara pemilu nasional dan lokal dipersempit.

Kajian Payne dan kawan-kawan, pemilu serentak juga menyederhanakan sistem kepartaian di tingkat lokal dan juga membentuk pemerintahan kongruen. Hal ini terjadi di negara-negara Amerika Latin dua dekade terakhir, mereka biasa menyelenggarakan pemilu serentak nasional dan terpisah dengan pemilu lokal. Dengan demikian instabilitas pemerintahan yang terjadi sejak 1960 hingga 1980 bisa teratasi. Kestabilannya meningkat, mereka berhasil melakukan pembangunan ekonomi secara lebih baik.

Sejauh pemerintahan nasional tidak melakukan kesalahan fatal dalam menjalankan roda pemetintahan, hasil pemilu serentak lokal cenderung sama dengan hasil pemilu serentak nasional. Hal ini terjadi karena koalisi partai politik yang memenangkan pemilu tingkat nasional akan tetap berkoalisi di pemilihan serentak di tingkat lokal.

Pemilu serentak lokal akan memaksa partai politik sedini mungkin berkoalisi guna meraih peluang jabatan eksekutif mau pun legislatif lokal. Selain itu pemilu serentak menciptakan pengaruh tersendiri sebagai dampak dari penetapan calon gubernur dan calon bupati/walikota oleh koalisi partai lokal. Bahkan dampak dari coattail effect pada pemilu serentak lokal, lebih kuat daripada pemilu serentak nasional.

Sayangnya, UU pemilu nomor 7 tahun 2017 tidak mengatur tentang pemilu serentak di daerah. Pemilu serentak cuma tingkat nasional, malahan juga mengikutkan pemilu legislatif untuk pengisian parlemen di daerah. Pemilihan serentak daerah sekarang cuma antara pemilihan gubernur dengan pemilihan bupati/walikota. Pemilihan seperti ini tidak akan mampu menyederhanakan jumlah partai di parlemen tingkat daerah sebab tidak ada efek calon kepala daerah dalam mempengaruhi pilihan masyarakat untuk memilih partai pengusung calon kepala daerah. Dengan demikian juga tidak meningkatkan kestabilan dan efektifitas pemerintahan di daerah. Pemerintahan akan berjalan sama dengan pemerintahan sebelumnya.(***)