Panik! Bayar QRIS Bakal Kena Pajak, PPN 12% Bikin Hidup Makin Berat?

Foto Mela Nadia

Transaksi non-tunai kini menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia, dengan QRIS sebagai metode favorit.

Namun, kabar pengenaan pajak pada transaksi QRIS di tengah rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% memicu kekhawatiran publik.

Banyak yang merasa, kenyamanan bertransaksi cashless kini harus dibayar mahal. Pemerintah mengklaim bahwa kenaikan PPN ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung pembangunan.

Namun, masyarakat, khususnya kaum cashless, mulai merasa tercekik karena tambahan biaya yang dirasa memberatkan, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi.

Tidak hanya itu, pengenaan pajak pada QRIS berpotensi mengurangi daya tariknya, karena selama ini metode pembayaran ini dikenal hemat biaya dan praktis.

Sementara itu, para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga khawatir dampaknya terhadap bisnis mereka.

QRIS selama ini menjadi solusi pembayaran modern yang efisien, namun dengan adanya tambahan pajak, pendapatan mereka bisa tergerus.

Kenaikan PPN menjadi 12% juga diyakini akan memicu efek domino terhadap harga kebutuhan pokok dan bahan baku, yang pada akhirnya memperburuk daya beli masyarakat.

Banyak yang mempertanyakan, apakah kebijakan ini justru kontraproduktif terhadap upaya pemerintah mendorong adopsi sistem non-tunai?

Hal ini juga membuka ruang diskusi tentang pentingnya kebijakan yang lebih adil dan tidak membebani masyarakat, seperti tarif pajak progresif untuk transaksi kecil atau insentif bagi pengguna QRIS.

Banner SolselBanner Solok Selatan 2Banner - Solok Selatan 3
Bagikan

Opini lainnya
Terkini