Refleksi 11 tahun Gempa (Kota Padang) & 10 Tahun Tsunami (Mentawai), Dalam Bingkai Pengurangan Risiko Bencana

oleh -517 views
oleh
517 views
Forum PRB gelar webinar merefleksi 11 Tahun Genpa Sumbar, Minggu 4 Oktober 2020. (foto: dok/prd)

Padang,—Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB Sumbar) melaksanakan Webinar dengan Tema “Menakar Kesiapsiagaan Bencana Sumbar” dalam rangka kampanye kesiapsiagaan memperingati bulan PRB tahun 2020.

Webinar dipandu Patra Rina Dewi (KOGAMI) dan Syafrimet (Jemari Sakato) dibuka Ketua Pengarah Forum Buya Mas’oed Abidin yang menegaskan kesiapsiagaan bencana harus wujud sebagai budaya, harus implementatif dalam kehidupan sehari-hari sesuai perintah Allah untuk iqra’.

Webinar menghadirkan tiga orang narasumber seperti Irwan Slamet Kepala Stasiun Geofisika Klas 1 Padang Panjang.

“Saat ini BMKG mempunyai sistem peringatan dini gempa dan tsunami yang dapat membantu memberikan informasi. BMKG mempunyai BUOY, OBU, tide gauge, seismograph, sirene,Deep Ocean Assessment Reporting of Tsunami (DAART),Cable Based Tsunameter (CBT), dan lain sebagainya. Harapannya alat ini bisa berfungsi secara optimal dan tidak ada alat yang hilang seperti kejadian sebelumnya, serta bisa dijaga sebaiknya demi keselamatan kita bersama,”ujarnya.

Narasumber kedua Rumainur (Kabid Kedaruratan dan Logistik (KL) BPBD Sumbar). Dia memaparkan bahwa gempa 30 September 2009 dan tsunami mentawai 25 oktober 2010 semestinya dicatat dalam sebuah buku pembelajaran (lesson learnt).

“Nantinya bisa dibaca oleh generasi sekarang dan akan datang sebagai pengingat untuk selalu siaga. Pada saat itu BPBD belum ada, yang ada Satkorlak PBP tapi koordinasinya berjalan baik karena operasi tanggap darurat dipimpin langsung oleh Gubernur,”ujarnya.

Narasumber ketiga Khalid Saifullah Koordinator Forum PRB Sumbar, Khalid Syaifullah, pada webinar Refleksi 11 Tahun Gempa 30 September 2009 Dalam Bingkai Pengurangan Risiko mengatakan bahwa dalam melakukan koordinasi penting dilakukan untuk menghindari terjadinya duplikasi upaya yang dilakukan, memahami kontribusi terhadap pemahaman kebutuhan bersama, mempertahankan prinsip dan standar minimum, menjamin bahwa adanya kesenjangan geografis, serta program yang dijembatani.

“Hal ini dilakukan dikarenakan bencana tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak. Bencana adalah urusan banyak pihak dan lintas sektor, oleh sebab itu penting untuk bisa saling berkoordinasi,”ujar Khalid.

Paparan narasumber kemudian ditanggapi 4 orang penanggap, Enny Supartini – Direktur Kesiapsiagaan BNPB
Sepakat dengan Khalid Saifullah, bahwa dalam Kesiapsiagaan Bencana perlu sekali koordinasi dan membangun strategi bersama dalam perencanaan, pelembagaan dan penganggaran.

“BNPB sedang mengembangkan program Destana (Desa Tangguh Bencana) dan Katana (Keluarga Tangguh Bencana) dimana fasilitatornya diambil dari kelompok millennial,”ujarnya.

Pembanding kedua John Nedi Kambang dari Koordinator Jaringan Jurnalis Siaga Bencana (JJSB) menyoroti paparan dari Irwan Slamet bahwa pada kejadian yang sebenarnya seringkali peringatan dini tidak berfungsi seperti yang diharapkan, sehingga perlu sering dilakukan uji coba dan perawatan.

Namun yang paling penting adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat karena masih ada sebagian masyarakat yang sinis, yang tidak percaya bahwa masih ada ancaman bencana di depan mata seperti tsunami dari megathrust Mentawai

“Dan saya sependapat dengan Khalid bahwa koordinasi belum efektif, masih terjadi program yang tumpang tindih sehingga BPBD seharusnya punya data base tentang kegiatan-kegiatan PRB yang sudah dilakukan oleh siapa, dimana dan kapan,”ujar Jhon.

Sedangkan pembanding ketiga Prof. DR. Fauzan – Ketua Pusat Studi Bencana (PSB) Unand tegas menyatakan bahwa Sumbar sama sekali belum siap menghadapi ancaman bencana gempa dan tsunami.

Pada gempa 30 September 2009 banyak sekali korban berjatuhan karena tertimpa bangunan. Regulasi sudah dibuat tapi kondisi bangunan sekarang ini masih sama seperti yang dulu sehingga perlu Perda yang mendesak agar bangunan-bangunan publik harus sesuai dengan aturan terbaru (SNI 2017).

“Untuk tsunami, kebutuhan tempat evakuasi sementara (bangunan/bukit) tidak bisa ditawar-tawar lagi karena tak mungkin evakuasi horizontal dilakukan oleh semua masyarakat,”ujarnya.

Sedangkan pembanding keempat Feri Naldi seaku Ketua Gerkatin Sumbar menyebutkan paparan narasumber, belum ada yang mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas padahal banyak sekali penyandang disabilitas yang bermukim di daerah rawan bencana.

Untuk saat ini baru BPBD Provinsi Sumbar, BPBD Mentawai dan Pessel yang mengikutsertakan penyandang disabilitas dalam upaya kesiapsiagaan bencana. Pengurangan risiko bencana harus inklusi.

Ketika Patra Rina Dewi sebagai moderator apakah BNPB dan BPBD telah memiliki cara untuk menakar kesiapsiagaan, begitu juga dengan PSB Unand dan Forum PRB Sumbar, ternyata belum ada kajian yang dilakukan secara komprehensif tentang kesiapsiagaan masyarakat terhadapa ancaman gempa dan tsunami di Sumatera Barat.

“Belum ada satu pedomanpun yang diterbitkan oleh lembaga manapun, kecuali oleh LIPI tahun 2007 yang tentu saja harus diperbaharui sesuai dengan kondisi terkini. Tapi semuanya sepakat bahwa Sumatera Barat belum siap. Setidaknya indikator kesiapsiagaan yang bisa digunakan adalah ada atau tidaknya dokumen Rencana Penanggulangan Bencana yang diimplementasikan,”ujat Patra.

Selanjutnya dalam pertemuan ini, ada beberapa catatan yang akan ditindaklanjuti dengan segera oleh kawan-kawan forum pengurangan risiko bencana Sumatera Barat, yaitu:

1. Pengurangan risiko bencana yang inklusif
2. Pelibatan media mainstream untuk optimalisasi edukasi kesiapsiagaan bencana
3. Penilaian kesiapsiagaan yang komprehensif tidak hanya mengandalkan Kajian Risiko Bencana.

(rilis pers : Patra Rina Dewi – Ketua Bidang Humas dan Publikasi Forum PRB Sumbar)