DJOHERMANSYAH DJOHAN : POLITIK DINASTI JANGAN AJI MUMPUNG

oleh -564 views
oleh
564 views
Djohermansyah Djohan, Politik Dinasti tidak salah tapi harus ada aturan mengontrolnya untuk.menghindari politisi aji mumpung. (foto: dok)

Jakarta,-– 270 daerah bakal menggelar Pilkada serentak nasional. Perhelatan demokrasi lokal tersebut diagendakan berlangsung pada 23 September 2020.

Saat ini sejumlah Partai Politik telah membuka pendaftaran kandidat kepala daerah/wakil kepala daerah. Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah maraknya politik dinasti yakni pertalian kekerabatan antara pejabat publik di daerah dan bahkan di tingkat nasional dengan calon kandidat.

Artinya calon kandidat kepala daerah diduga berpeluang besar mendapatkan dukungan baik moril dan materil sehubungan di belakang mereka ada tokoh besar yang memiliki citra dan pengaruh besar di masyarakat dalam pemenangan calon kandidat tersebut.

Sebut saja saat ini yang sedang berancang-ancang maju adalah Gibran Rakabuming, anak dari Presiden Joko Widodo yang berhasrat maju menjadi Calon Wali Kota Solo. Selain itu, Bobby Nasution yang juga merupakan menantu Presiden Joko Widodo juga telah resmi mendaftar sebagai Calon Wali Kota Medan. Siti Nur Azizah, Anak Wakil Presiden Ma’ruf Amin, pun hendak mencalonkan diri padal Pilkada Kota Tangerang Selatan 2020. Bupati Bandung Dadang M Naser saat ini juga sedang mendorong istrinya Kania Agustina untuk maju dalam Pilkada Kabupaten Bandung 2020 sebagai calon Bupati Bandung. Dan masih banyak kandidat lainnya yang muncul padahal masih bertalian darah dan kerabat dengan petinggi negara ini.

Nah, menyikapi hal ini, kami mencoba menghubungi Pakar Otonomi Daerah dan Politik Lokal Pror. Dr. H. Djohermansyah Djohan, M.A melalui sambungan telepon. Berikut wawancara dengan Djohermansyah Djohan (pak djo) selengkapnya.

Bagaimana menurut Prof dengan politik dinasti itu?

Pak Djo: Politik dinasti itu politik yang muncul karena hubungan kekerabatan. Basisnya keturunan dan perkawinan. Anak, mantu, ipar, ponakan, kakak, adik, paman, bibi, dan isteri diperjuangkan dan didukung untuk masuk dalam pemerintahan.

Hal apa yang salah dari politik dinasti?

Pak Djo: Politik dinasti itu bukan barang haram, juga tidak dilarang dalam konstitusi kita. Dinilai etis atau tidak, ya mungkin sedikit tak patutlah. Dengan itu semua sebenarnya sah-sah saja ia dimainkan, dijalankan. Tak masalah. Namun, yang perlu menjadi penekanan adalah politik dinasti itu tidak boleh asal-asalan atau karena aji mumpung.

Bisa diperjelas Prof?

Pak Djo: Begini. Ada prasyarat di negara demokrasi. Pendidikan dan pengalaman, Rekam jejak dan jam terbang si kandidat. Tak bisa ujug-ujug. Saya kasih contoh. Dinasti Kennedy di Amerika. Anak cucunya Joe Kennedy itu terjun dan menyelam dalam dunia politik. Tak ada yang salah, karena mereka mendapatkan tempaan atau pendidikan dulu lewat sekolah dan kiprah berkarier di dunia politik dan pemerintahan. Yang model seperti inilah politik dinasti yang sehat.

Lantas, bagaimana dengan yang di Indonesia?

Pak Djo: Sayangnya, politik dinasti di negeri kita banyak yang mengabaikan itu. Yang penting aji mumpung. Mumpung ada yang jadi pejabat, mumpung ada keluarga yang pegang kuasa. Tanpa melihat dan mengukur diri. Di tambah lagi budaya feodal birokrat dan masyarakat kita masih tebal. Jadi, Politik dinasti kita jauh dari sehat.

Apa dampaknya Prof?

Pak Djo: Ya, akibatnya, politik dinasti kita berbuah 1001 masalah. Kita sudah punya record buruk produk politik dinasti ini. Mereka ditangkap KPK dan lantas mendekam dalam penjara. Mulai dari penyalahgunaan kekuasaan untuk memenangkan kerabat, ketidakmampuan sang kerabat memimpin, dan yang paling parah kerap berujung pada perilaku koruptif. Yang dirugikan adalah masyarakat sendiri dan regenerasi kepemimpinan yang sehat, kerena dapat menghimpit peluang kandidat yang sebenarnya lebih berkualitas. Kaderisasi di parpol pun jadi berantakan.

Bagaimana solusi ke depannya menurut Prof?

Pak Djo: Baiknya ke depan, ada pengaturan terhadap politik dinasti baik di dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah, Pemilu, Pilkada, dan Parpol yang isinya bukan melarang, namun mengendalikan dan mengontrol untuk menyehatkannya demokrasi Indonesia.

Sekilas tentang Djohermansyah Djohan:

Tempat dan Tanggal Lahir : Padang, 21 Desember 1954.
Pendidikan: APDN Bukittinggi 1977, IIP Jurusan Politik, Jakarta 1984, University of Hawaii di Honolulu, Amerika Serikat 1991, Universitas Padjajaran 2004.

Karier : Deputi Setwapres RI Bidang Politik, 2005-2010, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri 2010-2014, Pj Gubernur Riau 2013-2014, Guru Besar IPDN sejak 2005-sekarang.

Tanda Jasa: Sarjana Adhi Praja Nugraha dari Mendagri RI (lulusan terbaik IIP angkatan XII) 1984, Bintang Jasa Utama dari Presiden RI 1999, Satya Lencana Karya 20 tahun dari Presiden RI 1999, Satya Lencana Karya 30 tahun dari Presiden RI 2009.

Buku: Etika Pemerintahan 2007, Menata Otonomi Daerah 2014, Merajut Otonomi Daerah pada Era Reformasi 2014, Menata Pilkada 2015, Menelisik Sisi Pelik Desentralisasi dan Praktik Pilkada 2016( analisa)