Persepsi Masyarakat Sumatera Barat Terhadap Keberadaan Kaum Perempuan Dalam Kegiatan Politik

oleh -657 views
oleh
657 views
Direktur Survey dan Data Spektrum Politika, Andri Rusta. (foto: dok)

Oleh : Andri Rusta/ Spektrum Politika Institute

Pengantar

KAUM perempuan di ranah Minang yang dikenal dengan bundo kanduang memiliki posisi yang terhormat dan dimuliakan. Bahkan keberadaan mereka dalam suku dan kaum sangat ditinggikan, apalagi jika dihubungkan dengan dengan harta pusako tinggi.

Walaupun, mamak waris dan penghulu sudah membulatkan suara mereka untuk memutuskan segala sesuatunya terkait pemanfaatan harta pusako tinggi suku dan kaum, jelaskan tidak akan lengkap kalau tidak memintakan pendapat dari bundo kanduang tersebut.

Karenanya tidak heran kaum perempuan di Minangkabau memiliki posisi strategis bahkan di ranah publik. Kaum perempuan tidak hanya sebagai pilar matriarki dalam adat dan budaya Minangkabau, tapi juga menjadi simbol keluhuran budaya Minangkabau yang dangat dinamis. Namun, bagaimana kalau dalam konteks kehidupan modern hari ini kaum perempuan didorong untuk memasuki ranah politik praktis?

Apalagi di tengah propaganda untuk mendorong terwujudnya 30 persen keterwakilan kaum perempuan di posisi jabatan politik baik di lembaga legislatif maupun sebagai kepala daerah? Apakah mereka bisa menempatkan diri pada posisi strategis tersebut dan bersaing dengan kaum lelaki? Apakah etnis Minangkabau, terutama kaum perempuannya juga mendukung keputusan perempuan untuk ikut berpolitik praktis?

Metode Survei

Sehubungan dengan fenomena di atas, sebagai sebuah lembaga riset dan konsultan, Spektrum Politika Institut turut peduli memberikan pendidikan politik melalui informasi politik yang sesuai dengan realita yang ada kepada publik terkait dengan bagaimana memperjuangkan keterwakilan perempuan ini.

Dengan demikian diharapkan masyarakat bisa memahami bagaimana dinamika politik yang berlangsung di sekitar mereka. Sejalan dengan itu, Spektrum Politika Institut melakukan survei terkait dengan persepsi masyarakat Sumatera Barat terhadap keberadaan kaum perempuan dalam kegiatan politik di Sumatera Barat.

Survei dilakukan tanggal 10-15 September 2020 mengumpulkan data di 19 Kabupaten/Kota yang ada. Riset ini mewawancarai sebanyak 1220 orang responden yang menjadi sampel yang diambil secara bertingkat (multistage random sampling) di seluruh kabupaten/kota yang ada. Sampel diacak secara proporsional dengan memperhatikan keterwakilan jumlah penduduk dan karakteristik penduduk yang ada di kabupaten/kota. Adapun margin of error dari sampel yang diambil tersebut adalah sebesar 2,9 persen. Untuk menjaga kualitas survei ini, maka quality control juga dilakukan dengan cara menelpon ulang responden untuk mengkonfirmasi jawaban mereka sebelumnya. Quality control survei ini dilakukan terhadap 60 persen dari total sampel yang diwawancarai oleh enumerator sebelumnya.

Hasil Survey

1. Apakah keterlibatan perempuan dalam aktifitas politik bertentangan dengan sistem sosial dan budaya Minangkabau?
Sistem sosial dan budaya Minangkabau sangat fleksibel dalam mengikui perkembangan zaman sehingga muncul istilah tak lekang dek paneh, tak lapuak dek hujan (Tak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan). Keberadaannya tetap saja diamalkan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, apalagi yang menyangkut adat istiadat atau kebiasaan yang diturunkan. Dari survey yang dilakukan terhadap responden di 19 kabupaten/kota ditemukan sebanyak 56,9 persen dari mereka mengatakan bahwa adat dan budaya Minangkabau mendukung perempuan beraktifitas dalam kegiatan politik. Bandingan dengan mereka yang mengatakan bertentangan dengan adat dan budaya Minangkabau sebanyak 26,6 persen. Sementara, sebanyak 16,5 persen mengatakan tidak tahu dengan kondisi itu.

2.Apakah ada keyakinan tertentu atau larangan yang membuat kaum perempuan didaerah ini tidak dibolehkan jadi pemimpin di daerah ini?

Faktanya sebanyak 68,5 persen responden mengatakan tidak ada keyakinan atau larangan yang melarang perempuan menjadi pemimpin di daerah mereka. Artinya, peluang perempuan untuk menjadi pemimpin tetap terbuka sesuai dengan pilihan masyarakat.

Sementara, 18,7 persen yang mengatakan masih ada keyakinan atau larangan yang membatasi kaum perempuan untuk jadi pemimpin di daerah mereka. Sedangkan, 12,8 persen tidak tahu dengan kondisi ini.

3. Apakah kaum perempuan mampu bersaing dengan kaum laki-laki?

Menariknya adalah responden meyakini bahwa kaum perempuan di Sumatera Barat dianggap mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam aktifitas politik. Hasil survey menunjukan sebanyak sebanyak 60,3 persen kaum perempuan di Provinsi Sumatera Barat dianggap mampu bersaing dengan kaum laki-laki dan sebanyak 27,6 persen yang mengatakan perempuan tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki. 13,1 persen yang menjawab tidak tahu dengan kondisi tersebut.

4. Apakah kemampuan politik perempuan lebih teruji dari kaum laki-laki menghadapi masalah-masalah politik?
Ketika didalami terkait kemampuan politik perempuan tersebut untuk menghadapi masalah-masalah politik dibandingkan kaum lelaki ternyata sebanyak 44,4 persen mengatakan kaum perempuan kurang teruji dibandingkan dengan kaum laki-laki. Sebanyak 34,1 persen yang mengatakan lebih teruji dibandingkan kaum laki-laki dan sebanyak 21,5 persen tidak tahu dengan realita ini.

5. Apakah kaum perempuan mampu menghadapi kerasnya dunia politik dan penuh intrik?

Menariknya, walaupun kondisi itu yang akan dihadapi oleh semua orang dan tidak hanya perempuan, faktanya sebanyak 58,2 responden percaya bahwa kaum perempuan akan bisa menghadapi kerasnya dunia politik yang penuh intrik tersebut. Sebanyak 26,6 persen yang tidak yakin perempuan mampu menghadapi hal tersebut dan sebanyak 15,2 persen tidak tahun dengan kondisi ini.

Artinya, publik Sumatera Barat melihat bahwa kapasitas perempuan ternyata bisa menghadapi kondisi politik yang keras dan penuh intrik.

6. Apakah dalam proses pencalonan Pemilu dan Pilkada ada pembedaan cara pandang masyarakat terhadap calon perempuan dan calon laki-laki?

Memang fenomena dalam masyarakat Sumatera Barat tidak mempermasalahkan keberadan calon perempuan dan calon laki-laki dalam kontestasi politik. Faktanya sebanyak 61,6 persen tidak membeda-bedakan keberadaan calon perempuan dan calon laki-laki dalam kontestasi Pemilu atau Pilkada. Namun, sebanyak 24,4 persen masih melihat adanya perbedaan ini. Sementara sebanyak 14 persen yang tidak tahu dengan realita ini.

7. Apakah ketika perempuan memimpin suatu institusi politik akan mendapatkan hasil yang sama dengan kaum laki-laki sebagai pemimpin institusi tersebut?

Dari pertanyaan tersebut ternyata sebanyak 46,6 persen mengatakan hasil yang dicapai perempuan akan sama dengan institusi politik jika dipimpin oleh kaum laki- laki. Hanya 31,1 persen saja yang mengatakan hasilnya tidak akan sama jika kaum lakik-laki yang memimpin dan sebanyak 22,3 persen tidak tahu dengan realita ini.

Penutup
Walaupun gambaran jawaban responden di atas memberikan harapan yang baik, namun ketika ditanyakan
“Seandainya ada perempuan mencalonkan diri dalam Pilkada atau menjadi calon anggota legislatif dalam Pemilu dan mereka juga memiliki kualitas yang sama dengan calon laki-laki dalam persaingan tersebut, apakah Bapak/Ibu/Saudara akan memilih calon perempuan tersebut?”
Diagram berikut menggambarkan jawaban responden! (analisa/relise pers)