Anak Buya Naik Gajah: Liberalitas Politik dan Retaknya Budi Pekerti Minang

Irdam Imran, Pengamat Politik dan Konstitusi serta Demokrasi Lokal. (Foto: Ist)
Irdam Imran, Pengamat Politik dan Konstitusi serta Demokrasi Lokal. (Foto: Ist)

Oleh: Irdam Imran, Pengamat Politik dan Konstitusi serta Demokrasi Lokal, dari Kaki Bukit Tirta Sari – Tilkam, Agam, Sumbar

Peristiwa transfer politik di Sumatera Barat baru-baru ini mengejutkan publik: seorang putra Gubernur Buya Mahyeldi Ansharullah pindah ke PSI dan langsung dinobatkan sebagai Plt. Ketua DPW. Dari Jakarta, ini tampak pragmatis: PSI mendapat pangkalan, keluarga memperoleh diversifikasi politik. Namun dari Ranah Minangkabau, langkah ini menimbulkan kegelisahan: bukan sekadar partai, tetapi soal budi pekerti, rasa malu, dan harkat keluarga yang diikat adat.

Liberalitas Politik vs Adat Minang

Lompat partai demi kursi cepat adalah manifestasi liberalitas politik yang tidak terkendali. Anak seorang tokoh besar seharusnya menjaga raso jo pareso perasaan dan pertimbangan matang dalam setiap langkah politik.

  • Cidera Malu: Langkah instan mencederai rasa malu yang menjadi benteng moral Minang.
  • Harkat Tergerus: Jabatan instan karena koneksi darah merendahkan integritas kepemimpinan dan martabat keluarga.

Liberalitas politik adalah hak setiap individu, tetapi ketika kebebasan ini tidak diselaraskan dengan nilai budaya dan moral masyarakat, fondasi sosial bisa retak. Pepatah adat jangan hanya jadi ornamen; kursi politik bukan satu-satunya ukuran prestise.

Pertanyaan untuk masyarakat Minang: Apakah kita membiarkan kursi politik menentukan harga budi pekerti, atau menegakkan raso jo pareso, menjaga adat, dan menempatkan liberalitas politik dalam kerangka etika yang menghormati nama baik keluarga serta nagari? (***)

Editor : Redaksi
Bagikan

Berita Terkait
Terkini