Makan Bergizi Gratis: Antara Amanah Ilahi dan Patologi Sosial Birokrasi

Oleh: Irdam Imran, Pengamat Sosial
Oleh: Irdam Imran, Pengamat Sosial

Oleh: Irdam Imran, Pengamat Sosial

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari sebuah niat mulia: menyehatkan anak bangsa agar tumbuh menjadi generasi cerdas dan kuat. Namun, ketika niat suci itu dibebani seluruhnya kepada APBN dan dijalankan dengan kultur birokrasi yang penuh kelemahan, ia justru bisa berubah menjadi patologi sosial. Bahkan, alih-alih membawa keberkahan, ia berpotensi menghadirkan keracunan massal yang menjadi aib kebangsaan.

Dalam pandangan sufistik, makanan bukan sekadar kebutuhan jasmani. Ia adalah amanah Ilahi. Makanan yang masuk ke tubuh menjadi darah, daging, dan energi yang akan menentukan baik atau buruknya amal manusia. Rasulullah mengingatkan, “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih berhak atasnya.” Jika yang masuk ke tubuh anak-anak kita adalah makanan basi, tercemar, atau penuh manipulasi anggaran, maka yang lahir bukan generasi sehat, melainkan generasi yang kehilangan keberkahan.

Birokrasi yang terlalu kaku dan sarat kepentingan duniawi sering kali menodai niat baik itu. Tender yang tidak adil, distribusi yang tidak higienis, pemotongan anggaran di banyak meja birokrasi—semua itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Dalam bahasa sufistik, ia disebut ghaflah: kelalaian dari suara Ilahi demi mengikuti hawa nafsu kuasa.

Padahal, setiap butir nasi dan setiap tetes kuah yang masuk ke mulut seorang anak adalah doa. Jika makanan itu bersih, sehat, dan halal, doa itu naik ke langit sebagai keberkahan. Tetapi jika makanan itu kotor, basi, dan hasil dari rekayasa anggaran, maka ia menjadi doa buruk yang bisa melahirkan generasi sakit lahir dan batin.

Maka jalan keluarnya bukan sekadar teknis birokrasi, tetapi juga taubat sosial. MBG harus dikelola dengan spirit amanah, bukan sekadar proyek. Pemerintah perlu menyerahkan pengelolaan kepada koperasi sekolah, komunitas pesantren, dan UMKM lokal yang lebih dekat dengan masyarakat, sambil tetap memastikan pengawasan yang adil dan transparan.

Program MBG hanya akan bermakna jika ia dikelola dengan kesadaran bahwa makanan adalah titipan Allah. Niat mulia negara harus diiringi dengan kesucian hati pengelolanya, sebab dalam urusan rezeki, suara Ilahi lebih menentukan daripada suara terbanyak di parlemen. (***)

Editor : Redaksi
Banner Trofeo Mini SoccerBanner Nevi Munas VI
Bagikan

Berita Terkait
Terkini