Kebijakan Affirmative Action, Apakah Hanya Untuk Pemenuhan Kuota 30% Saja?

oleh -343 views
oleh
343 views
Ramona, Mahasisea FISIP. UNAND(dok)

Oleh: Ramona

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas

INDONESIA merupakan negera dengan sistem demokrasi, yang berarti didalamnya menganut prinsip kebebasan bahwa siapa saja bisa menjadi pemimpin serta berada dalam lingkungan parlemen bahkan menjadi seorang perwakilan dalam eksekutif.

Baik itu perempuan atau laki-laki, jika ia memiliki suara dan dipilih oleh rakyat maka ia berhak menjadi pemimpin atau bahkan menjadi anggota dalam sebuah parlemen. Namun dalam konteks politik di Indonesia dapat kita lihat bagaimana perbandingan antara keterwakilan laki-laki dan perempuan itu masih sangat relatif jauh.

Padahal di Indonesia sendiri sudah banyak diberikan gerekan-gerakan untuk dapat mendukung perwakilan perempuan dalam politik seperti adanya Kebijakan Afirmasi (Affirmative Action), setelah berlakunya perubahan terhadap UUD 1945 dengan disahkannya UU No 12 Tahun 2003 tentang pemilu DPR, DPD, DPRD.

Tidak hanya itu peningkatan keterwakilan perempuan juga dilakukan dengan memberikan ketentuan agar setiap partai politik peserta pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% . Pasal 65 Ayat (1) menyatakan :

“Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”

Tidak hanya sampai di situ Kebijakan Afirmasi (Affirmative Action) terus disempurnakan bahkan pada kelembagaan Partai Politik sekalipun, tidak hanya dalam pendirian dan pengurusan Partai Politik saja, dimana partai politik baru dapat mengikuti pemilu jika telah menerapkan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada pengurusannya di tingkat pusat yang diatur dalam UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Meskipun sudah diberikan kuota 30%, pada realitanya kuota minimum 30% tersebut masih belum terisi secara penuh. Berdasarkan data hasil pemilu tahun 2019 saja tercatat bahwa angka keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) hanya 20,8% atau hanya 120 anggota legislatif yang perempuan dari 575 orang anggota DPR-RI.

Sehingga dengan hal ini penulis mempertanyakan bahwa apakah Kebijakan Afirmasi (Affirmative Action) atau kuota 30% yang diberikan hanya sebagai bentuk formalitas saja. Sebab di beberapa partai politik dapat kita lihat bahwa mereka kurang memberikan dukungan dan support baik itu dalam hal kaderisasi, pencalonan, dukungan serta dalam proses kampanye yang dilakukan oleh calon perempuan.

Sehingga Partai Politi tidak lagi memperhatikan bagaimana kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh kader perempuan partai mereka, akan tetapi partai politik hanya berfokus pada syarat administratif agar partai mereka dapat mengikuti proses Pemilu. Dengan hal itulah penulis dapat mengatakan bahwa, calon kader perempuan yang harusnya bisa melaju pada tingkat Pemilu mereka hanya hadir sebagai “pelengkap” dari persyaratan yang ada.

Dimana hal ini tentu sangat amat disayangkan sebab penulis melihat bahwa potensi perempuan dalam politik juga sebanding dengan potensi laki-laki. Dengan minimnya angka keterwakilan perempuan dalam suatu organisasi atau institusi maka ini akan berpengaruh terhadap penyusunan kebijakan yang berpihak kepada perempuan dan akan berdampak pada rendahnya indeks kesetaraan gender.

Keterwakilan perempuan dalam parlemen juga harus lebih diperhatikan lagi, sebab kehadiran perempuan dalam parlemen akan memberikan otoritas kepada perempuan untuk dapat memberikan kebijakan yang nantinya akan berkontribusi kepada pada pencapaian hak-hak perempuan baik itu dalam hal politik maupun lainnya. Karena seringkali kita melihat bahwa anggota laki-laki tidak dapat sepenuhnya mewakili hak perempuan, dikarenakan adanya perbedaan kepentingan diantara keduanya.

Dengan hal ini, maka partai politik harus memperhatikan lagi keterwakilan kader politik perempuan mereka di parlemen. Sehingga perempuan tidak hanya hadir sebagai “pelengkap” dari kuota 30% yang telah diberikan. Pemerintah juga semestinya dapat memberikan aturan atau sanksi bagi Partai Politik yang menolak memberikan alokasi dana untuk pemberdayaan kader politik perempuan mereka.(analisa)