Keterwakilan Perempuan dalam Dunia Politik

oleh -369 views
oleh
369 views
Erlangga Dwiki Hermanda, Mahasiswa FISIP UNAND. (dok)

Oleh: Erlangga Dwiki Hermanda

Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unand

PERAN perempuan dalam dunia perpolitikan khususnya di negara kita Indonesia pada saat sekarang ini bisa dikatakan cukup minim.

Bagaimana tidak, permasalahan gender yang dialami kaum perempuan dalam dunia perpolitikan maupun bidang apapun masih menjadi titik utama penyebab kurangnya partisipasi perempuan.

Mereka cenderung dianggap menjadi pelengkap dan pandangan bahwa perempuan ‘hanya mengurusi dapur’ masih melekat di pemikiran masyarakat Indonesia saat ini.

Padahal peran dan andil yang diberikan oleh kaum perempuan sebenarnya tidaklah kalah penting dari kaum laki-laki dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara.

Diskriminasi, pelabelan negatif, marginalisasi menjadi beban yang sangat berat yang dihadapi kaum perempuan untuk mendapatkan kesetaraan gender.

Dalam perpolitikan, banyak faktor yang menjadi penghambat kurangnya partisipasi perempuan. Partisipasi dan pemberdayaan perempuan dalam dunia perpolitikan dinilai masih minim dari kesetaraan.

Tidak adanya pendidikan politik dan pemberdayaan perempuan terkhusus dalam partai politik, dengan kebijakan partisipasi perempuan hanya 30% dalam pengisian lembaga atau partai politik, tentu menjadi perhatian khusus.

Namun keterlibatan perempuan dalam kepengurusan, pertemuan organisasi, pemberian suara, kampanye, diskusi-diskusi politik, dan rapat-rapat umum masih didasari ketidakadilan. Hal ini menjadi dasar kurangnya partisipasi perempuan dan menjadi faktor penghambat kesetaraan yang seharusnya didapatkan oleh kaum perempuan.

Terlihat bahwa perempuan sejak dahulu telah memperjuangkan suara mereka agar didengar dan dapat direalisasikan dalam kehidupan.

Demikian pula di parlemen (DPR), perempuan berusaha untuk memperoleh “kursi” agar dapat duduk di parlemen dengan tujuan dapat menyampaikan aspirasi perempuan.

Keterwakilan perempuan dalam dunia politik (parlemen, DPR) mengalami pasang surut sejak tahun 1950. Keterwakilan perempuan yang terendah adalah pada DPR 1050-1995 (3,7%) dan tertinggi pada DPR 2009-2014 yang berjumlah 100 orang atau 17,86% dan menurun di periode 2014-2019 menjadi 17,32% atau sebanyak 97 orang.

Data tersebut memperlihatkan bahwa kuota 30% perempuan di parlemen belum dapat direalisasikan. Laporan perkembangan PBB pada tahun 1995 yang menganalisis gender dan pembangunan di 174 negara menyatakan bahwa:

“Meskipun benar bahwa tidak ada hubungan nyata yang terbentuk antar tingkat partisipasi perempuan dalam lemabaga-lembaga politik dan kontribusi mereka terhadap kemajuan perempuan, tetapi 30% keanggotaan dalam lembaga-lembaga politik dianggap sebagai jumlah kritis yang dapat membantu perempuan untuk memberi pengaruh yang berarti dalam politik”.

Perempuan dalam kancah politik memang tidak gampang karena budaya patriarki yang masih mendominasi sehingga komunikasi pun terkadang menjadi kendala. Keterwakilan perempuan di parlemen yang sangat timpang sebenarnya bukan disebabkan oleh perbedaan seks (kodrat atau takdir), tetapi lebih pada perbedaan gender (konstruksi sosial).

Hal ini karena adanya persepsi dan konstruksi sosial yang menutup akses kaum perempuan untuk lebih banyak berkiprah dalam bidang politik.

Pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam berbagai bidang, termasuk juga bidang politik. Namun, hak yang sama itu tidak dibarengi dengan kesempatan yang sama, sehingga keterwakilan perempuan dalam bidang politik menjadi timpang. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain:

1.Nilai sosial budaya yang lebih mengutamakan laki-laki.

2.Pembagian kerja berdasarkan gender dalam masyarakat agraris-tradisional.

3.Citra perempuan sebagai kaum yang lemah lembut.

4.Ajaran agama yang ditafsirkan secara sempit dan parsial.

5.Kurangnya political will pemerintah.

6.Kekurangan kualitas individu perempuan dan kaderisasi politik.

Seharusnya di era saat ini, itu tidaklah menjadi faktor penghambat bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan aspirasi dan suara-suara perempuan diluar sana demi kemajuan dan kesejahteraan.

Permasalahan mengenai kesetaraan gender di Indonesia, didukung dengan lambatnya pemahaman tentang gender itu sendiri.

Anggapan masyarakat tradisional bahwa kaum perempuan hanyalah subjek yang berada dalam lingkup keluarga, mengurusi anak, dan berurusan dengan peralatan dapur.

Meskipun begitu keterlibatan perempuan dipastikan memiliki andil yang luar biasa dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.(analisa)