Pembunuhan Berencana pada Jurnalis tidak Kejahatan Biasa, AJI Padang Desak Revisi Kepres Remisi

oleh -736 views
oleh
736 views
Charles (kanan), Roni (belakang), Adil (tengah depan) dan Andhika (kiri) pembicara dan moderator diskusi publik 'Mempertanyakan Remisi terhadap Pembunuh Jurnalis', Kamis 24/1 di Rumah Ikhlas Padang. (foto: ajipdg)

Padang,—Pembunuhan berencana terhadap jurnalis tidak bisa dipandang sebagai kejahatan biasa.

Itu merupakan kejahatan serius, bahkan masuk kategori kejahatan terhadap hak asasi manusia. Karenanya, pemberian grasi dan remisi serta segala bentuk keringanan hukuman terhadap pelaku kejahatan itu, tidak bisa menggunakan perspektif kejahatan biasa, sebagaimana yang termuat dalam KUHP.

Sehingga itu Keppres tentang remisi No.29 Tahun 2018, yang salah satunya diberikan Presiden Joko Widodo kepada Nyoman Susrama, terpidana seumur hidup kasus pembunuhan berencana terhadap Jurnalis Radar Bali Anak Agung Prabangsa pada 2009, mesti direvisi.

Pernyataan itu menjadi benang merah Diskusi Publik ‘Mempertanyakan Remisi Pembunuh Jurnalis’ digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang, Kamis 24/1 kemarin.

Diskusi yang digelar di Kantor AJI Padang tersebut juga sekaligus dalam memperingati ulang tahun ke-14 bagi AJI Padang. Pada diskusi dipandu Sekretaris AJI Padang, Andika D Khagen tersebut, hadir sebagai pembicara, Ahli Hukum Tata Negara Charles Simabura dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Pegiat Kemerdekaan Pers Roni Saputra, serta Ketua Bidang Advokasi AJI Padang Aidil Ichlas.

Charles Simabura menyebutkan, pemberian remisi terhadap pembunuh jurnalis, merupakan bentuk ketidakpekaan presiden.

“Saya pikir pembunuhan terhadap wartawan Radar Bali, bukanlah pembunuhan yang biasa. Ini merupakan salah satu bentuk pembungkaman terhadap pers, perlawanan terhadap prinsip negara hukum,”ujar Charles.

Selain itu, kata Charles seharusnya presiden sensitif dengan kasus-kasus seperti ini. “Seharusnya dalam debat presiden, isu kebebasan pers juga harus dibahas. Kita menilai, penguasa di negara ini, tidak terlalu peduli dengan kebebasan pers,” ujarnya.

Tidak hanya itu, kata Charles ada kemungkinan juga presiden menandatangani Keppres tersebut tanpa mempelajari dulu, atau ada kemungkinan bawahannya tidak memberikan penjelasan terkait hal itu. Seharusnya, staf atau pun menteri memberikan penjelasan.

“Presiden harus menjawab, presiden harus menjelaskan ke publik, atas dasar apa remisi ini diberikan,”ujar Charles.

Akademisi FH Unand ini mengaku tidak menolak remisi, karena itu hak bagi warga binaan, apakah itu remisi khusus atau umum. Namun, yang menjadi pertanyaan, atas dasar apa remisi ini diberikan oleh presiden.

“Presiden harus selektif, karena kejahatan terhadap terhadap pers itu bukanlah kejahatan biasa. Apa yang terjadi hari ini, kita patut protes, kita memang harus protes, karena ini bagian dari koreksi mempertanyakan komitmen presiden dalam rangka menjamin terwujudnya kebebasan pers, sehingga kita tidak was-was lagi dengan hal itu,”ujarnya

Di antara polemik  ada saat ini, kata Charles, masih ada ruang bagi kita untuk koreksi dan membawa ke ranah hukum.

“Kita yakin, ini masih bisa dibawa ke ranah hukum, kita bisa menggugat melalui PTUN, saya mendorong kawan-kawan untuk menggugat ke PTUN tentang Keppres No. 28/2018 ini. Mudah-mudahan PTUN bisa meluruskan praktek-praktek non remisi yang dilakukan berdasarkan kepres 174 ini,” jelasnya.

Pemberian remisi terhadap Susrama, merupakan momentum untuk mempertanyakan remisi beraroma garasi.

“Ini harus menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk memperbaiki regulasi, karena ini bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi,”ujarnya.

Roni Saputra, Pegiat Kemerdekaan Pers mengatakan di tahun politik dan kondisi kebebasan pers hari ini juga tidak begitu baik, hal ini akan berimbas kepada presiden sendiri.

Pemeberian remisi, kata Roni, entah remisi apa. Karena di dalam PP, itu ada remisi umum dan khusus, ada juga remisi tambahan. Namun, itu (remisi yang diberikan terhadap Susrama) tidak masuk dalam kategori tersebut.

Menurut Roni, Keppres tersebut akan berimbas terhadap presiden sendiri, dan akan menjadi preseden buruk kedepannya.

“Sangat disayangkan, presiden pun pernah berjanji untuk mengungkap kasus Udin, contohnya. Namun, hingga saat ini juga belum. Malah, memberikan remisi terhadap pembunuh jurnalis,” ujarnya.

Remisi itu kata Rony langkah mundur oleh presiden, apalagi ini terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM), dalam hal kebebasan pers yang sebenarnya sudah diautur dalam undang-undang.

“Ini (pemberian remisi) malah ada pemberlakuan yang berbeda,” jelasnya.

Roni mengatakan, presiden kembali membaca ulang Keppres yang sudah ditandatangani, dan memastikan kajahatan-kejahatan yang serius perlu dikeluarkan. Artinya, presiden perlu merevisi kembali Keppres yang sudah ditandatangani tersebut.

“Presiden harus menjelaskan ke publik, terkait remisi berbau garasi ini, sehingga publik bisa memahami langkah prsiden itu seperti apa,” ujarnya.

Aidil Ichlas, Ketua Bidang Divisi Advokasi AJI Padang pemberian remisi terhadap Susrama, dinilai telah mencederai rasa keadilan, tanpa mempertimbangkan keluarga korban.

“Jika pelaku mendapat keringanan hukum, ini akan berdampak buruk, dan tidak akan membuat jera para pelaku,” ujarnya.

Aidil menekankan kekecewaan AJI dan banyak komunitas jurnalis seluruh Indonesia terhadap Kepres tersebut.

“Prabangsa dibunuh dengan cara yang sangat kejam. Tangan diikat, kemudian sembilan orang memukulinya dengan balok. Ketika Prabangsa sekarat, dibuang ke laut,”ujarnya.

AJI se-Indonesia mengecam apa yang dilakukan presiden, memberikan remisi pembunuh jurnalis, karena ini telah mencederai perasaan kita dan telah mengancam kebebasan pers, dan ini merupakan bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap kebebasan pers.

“Kita sepakat, remisi ini dicabut,”tegas Aidil. (tsp)