Budaya Patriarki Sebagai Jurang Pemisah Antara Perempuan Dengan Politik?

oleh -327 views
oleh
327 views
Suci Fitria, Mahasiswa FISIP. UNAND. (dok)

Oleh: Suci Fitria

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas

INDONESIA merupakan negara demokrasi yang sangat menjunjung tinggi kebebasan sebagai suatu hakikat setiap manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa setiap kesempatan yang ada, semua warga berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama.

Hal ini juga termasuk kedalam bidang politik, di mana negara demokrasi menyuguhkan semangat untuk berpartisipasi dalam membangun negara. Dalam semangat partisipai akan politik ini dapat dilakukan oleh semua kalangan baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, tanpa adanya perbedaan gender. Sehingga partisipasi dalam politik merupakan hak yang dimilki oleh setiap orang.

Namun di era reformasi saat sekarang ini, masih sering dijumpai adanya pengekangan hak perempuan dikarenakan adanya budaya patriarki yang masih hidup di tangah-tengah masyarakat. Pertanyaan sekarang, apa itu budaya patriarki?

Budaya patriarki merupakan satu kedaaan yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang posisi utama dalam setiap kelompok sosial tertentu, yang mengakibatkan lemahnya keberadaan perempuan. Akibatnya peran perempuan dalam ranah publik masih sangat minim.

Partispasi perempuan dalam mengambil keputusan pun terkadang masih sering terabaikan. Sedangkan di satu sisi laki-laki memgang peranan sentral dalam memegang kontrol utama perpolitikan di Indonesia. Laki-laki dipandang sebagai kaum yang tangguh dan sanagt ideal sebagai pemimpin dalam sebuah organisasi atau kelompok tertentu lainnya.

Budaya patriarki sering kali memaksa perempuan untuk selalu bergantung kepada kaum laki-laki, sehingga mereka tidak bisa untuk mengekpresikan diri mereka. Dalam budaya patriaki ini wanita dianggap sebagai second class citizens atau warga kelas dua, di mana kedudukan perempuan dianggap jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki dan perempuan juga dilihat sebagai makhluk yang lemah yang tidak mampu berdiri sendiri dan membutuhkan perlindungan dari kaum laki-laki.

Sehingga budaya patriarki ini menciptakan stigma bahwa perempuan hanya bisa bekerja di rumah atau sebagai ibu rumah tangga saja. Stigma inilah yang menjadi akar permasalahan perempuan untuk terjun ke dalam dunia politik, karena stigma ini akan mengikat kaum perempuan untuk tak melangkah keluar dari zona nyaman mereka untuk berpartisipasi dalam politik. Yang pada akhirnya perempuan hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga dan bersikap apatis terhadap keadaan politik di dalam negaranya sendiri.

Hasil dari budaya patriarki di Indonesia dapat dilihat dari minimnya keterwakilan perempuan dalam ranah politik. Di mana berdasarkan hasil Pemilu 2019, mencatat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR-RI.

Di mana perempuan yang ikut berpartsispasi dalam kancah pemilu 2019 ini berasal dari berbagai partai politik yang ada di Indonesia. Di mana perempuan yang sudah ikut tergabung dalam DPR-RI merupakan wanita yang berhasil untuk memperjuangkan hak mereka untuk melangkah keluar dari kekangan budaya patriarki yang sampai saat ini masih mendarah daging di Indonesia.

Data di atas juga dapat memberikan bukti nyata bahwa budaya patriarki memang menjadi jurang pemisah bagi perempuan untuk dapat bergabung ke dalam dunia politik. Budaya patriarki ini sudah mendarah daging dalam kehidupan di Indonesia terlebih dalam bidang politik, budaya ini sudah hadir jauh sebelum adanya reformasi, sehingga budaya ini dijadikan tradisi turun-temurun yang tidak boleh diganggu gugat pelaksanaanya.

Namun aspek yang ditimbulkannya juga berdampak negatif apabila terus-menerus dibiarkan terjadi. Budaya ini akan menimbulkan kesenjangan gender yang semakin besar di Indonesia. Oleh karena itu pemerintah harus cakap dalam menghadapi budaya patriarki ini agar tidak berkembang semakin jauh lagi di tengah masyarakat.

Namun sejauh ini pemerintah telah melkukan beberapa upaya untuk menghapuskan budaya patriarki ini ,salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan kuota 30 persen bagi perempuan untuk turut berpartisipasi dalam pemilu.

Akan tetapi masyarakatnya sendiri juga harus turut andil dalam melakukan perubahan untuk menghapus budaya patriarki ini, salah satunya dengan cara penanaman semangat nasionalisme pada anak sejak dini dengan membentuk karakter anak yang berani untuk keluar dari zona nyaman mereka.(analisa)