Padang, - Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas menggelar kuliah umum bertema “Ketimpangan Berbasis Gender dalam Kebijakan Publik di Indonesia: Antara Religiusitas dan Hak Konstitusional Warga Negara.” Kegiatan ini menghadirkan Dr. Dina Afrianty dari Australian Catholic University sebagai narasumber dan Mhd Fajri, S.IP, MA (Dosen Ilmu Politik Unand) sebagai moderator.
Acara juga dihadiri oleh Wakil Dekan 1 FISIP, Dr. Tengku Rika Valentina, MA, Ketua Departemen Ilmu Politik, Dr. Zulfadli,M.Si, Ketua Program Studi S1 Ilmu Politik, Dewi Anggraini, M.Si, Prof, Dr Asrinaldi,M.Si, Sadri,M.Soc.Sc, Andhik Beni Putra,MA, Dr. Indah Adi Putri, M.IP dan Billy Febrima Hidayat, M.IP
Acara yang berlangsung di Aula Pascasarjana Unand Lantai 3 yang diikuti 120 mahasiswa Departemen Ilmu Politik. Diskusi berjalan interaktif, membuka wawasan peserta tentang bagaimana gender dan disabilitas ditempatkan dalam kebijakan publik di Indonesia, serta tantangan antara nilai religiusitas dan hak-hak konstitusional warga negara
Gender sebagai Konstruksi Sosial
Dalam pemaparannya, Dr. Dina menegaskan bahwa isu gender tidak bisa dilihat semata-mata dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Gender, menurutnya, adalah konstruksi sosial yang membentuk identitas, peran, serta perilaku seseorang.
“Norma budaya, interpretasi agama, hingga kebijakan yang diskriminatif masih menjadi penghalang besar bagi perempuan dalam mengakses ruang publik,” jelasnya.
Ia mencontohkan rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik. Meskipun regulasi telah menetapkan kuota 30 persen, faktanya representasi perempuan di DPR RI masih jauh dari setara. Hal ini diperparah dengan beban ganda yang masih ditanggung perempuan, baik dalam ranah domestik maupun publik.Disabilitas: Ragam dan Realitas Diskriminasi
Selain isu gender, Dr. Dina juga mengangkat persoalan disabilitas. Ia menguraikan bahwa disabilitas tidak terbatas pada keterbatasan fisik, tetapi juga meliputi disabilitas mental (depresi, kecemasan, PTSD), intelektual (learning disabilities, autisme), sensorik (gangguan penglihatan dan pendengaran), hingga kondisi laten seperti penyakit kronis.
Kelompok disabilitas, menurutnya, kerap menghadapi tantangan berlapis, mulai dari stigma sosial, stereotip, diskriminasi, hingga minimnya kebijakan publik yang inklusif. “Bahasa dan sikap kita sangat berpengaruh dalam menciptakan inklusi atau eksklusi. Kesetaraan dan inklusi bukan sekadar wacana hak asasi, tetapi juga syarat bagi keadilan sosial, pertumbuhan ekonomi, dan demokrasi yang sehat,” ujar Dr. Dina.
Suara Mahasiswa: Inklusi Butuh Perubahan Perspektif
Diskusi semakin hidup saat sesi tanya jawab. Salah satu mahasiswa Ilmu Politik angkatan 2023, Rahmad, memberikan pernyataan yang mendapat banyak apresiasi dari peserta:
“Orang disabilitas itu bukan cacat, tapi lingkungannya lah yang membuat dia menjadi cacat.”
Editor : Redaksi