Oleh: Irdam Imran, Pendiri NGO Padi Sawah Tadah Hujan
Ketika DPD RI meluncurkan gagasan Demokrasi Hijau dan Berkelanjutan, publik menaruh harapan baru bahwa politik Indonesia mulai menyentuh dimensi ekologis dan keberlanjutan kehidupan. Namun, di tengah semangat itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah demokrasi hijau benar-benar akan tumbuh di atas tanah konstitusi yang subur, atau hanya menjadi bunga euforia yang layu karena kehilangan ruh supremasi konstitusi?
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap.”
(QS. Al-A’raf: 56)
1. Demokrasi dan Amanah Ruhani
Demokrasi hijau dan berkelanjutan sejatinya bukan sekadar proyek politik, tetapi panggilan ruhani yang menuntut kesadaran sebagai khalifah fil ardh pemelihara bumi dan penjaga keseimbangan ciptaan.
Dalam pandangan iman, politik yang berorientasi pada keberlanjutan bukan hanya soal kebijakan lingkungan, melainkan juga soal kejujuran hati dalam menjalankan amanah kekuasaan.Namun, gagasan seindah apa pun akan menjadi euforia sesaat bila tidak diiringi kesetiaan kepada supremasi konstitusi. Sebab konstitusi adalah janji luhur yang mengikat pemimpin dan rakyat dalam satu ikatan moral kebangsaan.
2. Menyiram Tanah Konstitusi
Menjaga konstitusi ibarat menjaga air agar terus mengalir di sawah-sawah kehidupan. Bila air tersumbat oleh kerak ambisi dan kepentingan pribadi, maka ladang demokrasi akan retak dan tumbuhan keadilan tak lagi berbuah.
Demokrasi hijau sejati tumbuh dari jiwa yang memahami bahwa kekuasaan hanyalah titipan, bukan milik abadi. Ia menuntut keikhlasan untuk melayani, bukan memperkaya diri; menanam nilai, bukan menebar janji.
3. Zikir Konstitusi dan Keikhlasan Politik
Dalam kesadaran ini, supremasi konstitusi bukan sekadar norma hukum, tetapi zikir kebangsaan mengingatkan setiap pemimpin bahwa setiap keputusan dan kebijakan adalah bagian dari ibadah menjaga amanah Tuhan di bumi.
Editor : Redaksi