Pers Pelawan Tangguh Misinformasi dan Disfungsi Informasi

Foto Adrian Toaik

Ketika prinsip ini ditinggalkan, menurut Bill Kovac, seketika itu juga pers berhenti menjadi mercusuar di tengah lautan gelap disinformasi di media sosial dan justru menambah hingar bingar misinformasi dan disinformasi di tengah publik.

Kunci lain pers menghempang viral disinformasi adalah etika.

Etika adalah kompas melawan disfungsi informasi tidak bisa hanya mengandalkan teknologi atau undang-undang. Kuncinya tetap pada etika jurnalistik.

Begawan pers Indonesia Goenawan Mohamad, dalam tulisannya mengatakan jurnalisme adalah soal nurani, bukan hanya apa yang ditulis, tetapi bagaimana menuliskannya dengan tanggung jawab.

"Etika menjadi pelita cahaya di ujung kegelapan menuntun wartawan agar tidak tergoda membuat sensasi. Karena berita tidak sekadar konten, melainkan amanah untuk mencerahkan. Pers beretika tahu kapan harus bicara dan kapan harus berhenti, tahu kapan harus cepat dan kapan harus hati-hati,"beber Goenawan Muohamad.

Dari perang atas mis dan dis informasi itu, tidak bisa pers yang angkat senjata sendiri, melawan disfungsi informasi tidak bisa hanya dibebankan kepada pers. Masyarakat juga perlu berperan.

Kini, banyak orang lebih percaya pada pesan dari grup WhatsApp ketimbang berita resmi dari akun resmi lembaga. Ini selain menunjukkan rendahnya literasi media di tengah masyarakat.

Padahal, seperti kata pepatah, kebodohan informasi lebih berbahaya dari kebodohan pengetahuan.

Publik perlu belajar untuk kritis terhadap sumber informasi: siapa yang berbicara, dari mana datanya, dan apa konteksnya. Pers bisa mengambil bagian dalam gerakan literasi ini lewat kanal fact-checking, kolaborasi dengan lembaga pemeriksa fakta, dan edukasi publik di media sosial.

Langkah-langkah kecil seperti ini bisa mengembalikan kepercayaan publik kepada media yang kredibel.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini