Pemilu di Indonesia secara prosedural telah berlangsung secara rutin, namun kualitas demokrasi secara substansial justru mengalami penurunan.
Fenomena ini, yang sering disebut sebagai democratic backsliding, terlihat dari menyempitnya ruang kebebasan publik, maraknya disinformasi, dan melemahnya independensi lembaga negara.
Wasisto Raharjo Jati (2021) menyoroti menguatnya peran militer dalam ranah sipil sebagai salah satu indikator kemunduran ini.
Bahwa meskipun Pemilu menjadi pilar formal demokrasi Indonesia, perannya dalam mewujudkan kedaulatan rakyat sesungguhnya telah tergerus oleh kepentingan elite, praktik otoritarianisme kompetitif, dan dominasi oligarki.
Kerangka Teori: Mengurai Demokrasi dari Prosedur Hingga Substansi
Menurut pandangan klasik dari Robert Dahl, demokrasi minimalis (poliarki) mensyaratkan adanya kompetisi politik dan partisipasi warga.
Namun, Amartya Sen menawarkan perspektif yang lebih dalam, melihat demokrasi sebagai sarana untuk memperluas kebebasan manusia secara nyata, bukan sekadar prosedur.Sementara itu, konsep otoritarianisme kompetitif dari Levitsky dan Way menggambarkan rezim yang menyelenggarakan pemilu sebagai formalitas, namun memanipulasi prosesnya untuk menguntungkan pihak berkuasa, menciptakan uneven playing field atau arena yang tidak setara.
Tantangan demokrasi semakin kompleks dengan adanya dominasi oligarki ekonomi-politik yang memengaruhi kebijakan dan fenomena democratic backsliding global yang merusak kualitas deliberasi publik.
Analisis: Retorika Demokrasi vs Realitas Oligarki
1. Pemilu Prosedural vs. Demokrasi Substantif: Indonesia secara formal telah memenuhi indikator poliarki Dahl: pemilu berkala, multi-partai, dan kebebasan berpendapat. Namun, dari sisi substansial, demokrasi kita gagal menghasilkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan mayoritas. Ketimpangan ekonomi tetap tinggi, dan kebijakan strategis justru lebih menguntungkan elite yang dekat dengan kekuasaan. Pemilu memberikan kebebasan memilih secara formal, namun belum mampu meningkatkan kualitas hidup secara nyata seperti yang diidealkan Amartya Sen.
2. Gejala Otoritarianisme Kompetitif di Indonesia: Pemilu kita "bebas" namun tidak "seimbang". Ketimpangan akses media menciptakan arena kompetisi yang tidak adil. Politisasi aparat negara dan intervensi lembaga hukum untuk menekan oposisi semakin memperkuat indikasi ini. Sistem proporsional terbuka, yang seharusnya meningkatkan keterwakilan, justru memicu biaya kampanye tinggi dan mendorong praktik vote buying dan politik uang, menggerus nilai-nilai demokrasi dari dalam.
