Oleh: Irdam Imran, Mantan Birokrat Parlemen Senayan
Kedermawanan Usman bin Affan, sahabat Nabi yang dikenal lembut hatinya, bukan sekadar kisah keteladanan individu dalam memberi, melainkan cermin dari konsep ekonomi berbasis iman dan keadilan sosial. Ketika Madinah dilanda kekeringan dan masyarakat kekurangan air, Usman membeli sumur Raumah dari seorang Yahudi, lalu mewakafkannya untuk kepentingan umat. Ia tidak menuntut imbalan duniawi. Baginya, harta hanyalah titipan untuk kebaikan sosial.
Waqaf sumur Raumah yang dikelola negara Madinah kala itu menjadi simbol keterpaduan antara spiritualitas pribadi dan tanggung jawab sosial negara. Negara hadir sebagai pengelola, bukan pemilik, memastikan manfaat waqaf menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Inilah bentuk paling ideal dari kolaborasi antara kekuatan iman, kekuasaan negara, dan kesejahteraan rakyat — sesuatu yang amat relevan bagi umat Islam Indonesia hari ini.
Sayangnya, di tengah jumlah umat Islam yang besar, kesalehan sosial belum seimbang dengan kesalehan ritual. Banyak yang rajin beribadah, tetapi belum banyak yang berani berbagi dalam skala sosial yang berdampak luas. Kita lebih mudah menyalurkan sedekah spontan, tetapi belum banyak yang berpikir tentang wakaf produktif untuk kepentingan umum. Padahal, semangat Usman bin Affan mengajarkan bahwa kesejahteraan umat tidak bisa bertumpu hanya pada ibadah personal, melainkan juga pada solidaritas ekonomi yang terorganisir.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi luar biasa. Menurut data Kementerian Agama, potensi wakaf uang nasional mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Namun yang terealisasi masih di bawah satu persen. Banyak umat yang ingin berbuat, tetapi belum menemukan sistem pengelolaan wakaf yang transparan, profesional, dan amanah. Di sinilah peran negara menjadi penting — bukan untuk menguasai, melainkan untuk memastikan agar setiap rupiah dana sosial umat dikelola sesuai prinsip syariah dan asas keadilan sosial yang diamanatkan konstitusi.
Kedermawanan Usman bin Affan mengajarkan satu hal mendasar: kepemilikan sejati adalah ketika seseorang rela melepaskannya untuk kemaslahatan umum. Prinsip ini sejalan dengan sila kelima Pancasila — Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jika negara mampu meniru tata kelola wakaf ala Madinah yang berbasis amanah, maka aset wakaf bisa menjadi sumber daya publik untuk pendidikan, kesehatan, air bersih, dan pemberdayaan ekonomi rakyat miskin.Namun di lapangan, banyak pengelolaan wakaf dan zakat masih terfragmentasi. Lembaga-lembaga keagamaan sering berjalan sendiri tanpa integrasi sistem dengan pemerintah daerah. Akibatnya, potensi besar ini tidak sepenuhnya menjadi kekuatan ekonomi umat. Padahal, dalam konteks modern, wakaf produktif bisa diinvestasikan ke sektor riil, seperti pertanian, perumahan rakyat, koperasi, dan usaha mikro syariah.
Spirit Usman bin Affan sesungguhnya relevan untuk memperbaiki etika kepemimpinan dan tata kelola publik. Ia memberi tanpa pamrih, mengelola dengan tanggung jawab, dan menempatkan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi. Jika nilai ini dihidupkan dalam birokrasi dan kebijakan publik, maka dana sosial umat bisa menjadi jaring kesejahteraan konstitusional, bukan sekadar amal seremonial.
Kita membutuhkan “Usman-Usman baru” di negeri ini — baik di kalangan pejabat, pengusaha, maupun umat biasa. Mereka yang tidak sekadar beriman di masjid, tapi juga berani menyerahkan sebagian hartanya untuk kemaslahatan bangsa. Wakaf bukan hanya urusan agama, tapi juga strategi sosial untuk mengurangi ketimpangan ekonomi, memperkuat kemandirian rakyat, dan memperluas ruang keadilan.
Meneladani Usman bin Affan berarti mengembalikan makna harta sebagai amanah. Di tengah krisis moral dan materialisme, umat Islam Indonesia perlu menegaskan kembali bahwa kekayaan sejati bukan pada banyaknya kepemilikan, tapi pada luasnya manfaat yang ditinggalkan.
Editor : Redaksi
