Padang, - Dinas Kebudayaan Sumatra Barat melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Budaya Sumatera Barat menutup kalender kegiatan seni dan kebudayaan tahun 2025 dengan dua perhelatan besar yang saling terhubung secara gagasan, yakni Festival Sastra Marah Roesli dan pameran seni rupa West Sumatera Visual Art Exhibitions (Wesvae).
Kedua agenda ini dirancang sebagai ruang refleksi, dialog kritis, dan pembacaan ulang realitas sosial melalui medium sastra dan seni rupa.
Kepala UPTD Taman Budaya Sumatera Barat, M. Devid, menyampaikan bahwa festival sastra dan pameran rupa tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan dirangkai dalam satu benang konseptual untuk merespons perkembangan kebudayaan dan dinamika sosial di Sumatera Barat maupun Indonesia secara lebih luas.
“Ada dua kegiatan besar di akhir tahun 2025 ini, yakni Pameran Wesvae dan Festival Sastra Marah Roesli. Keduanya kami rancang sebagai ruang diskusi dan refleksi kritis atas perkembangan seni dan kebudayaan,” ujar Devid dalam konferensi pers di Laga-laga Taman Budaya Sumbar, Selasa (16/12/2025).
Pameran Wesvae resmi dibuka pada Selasa malam, 16 Desember 2025 dan berlangsung hingga 30 Desember 2025 yang dihadiri ratusan pengunjung dari pelbagai kalangan.
Tahun ini, Wesvae mengusung tema “Hulu” yang dimaknai sebagai titik mula pembacaan persoalan, baik yang bersumber dari alam, sejarah, maupun struktur sosial. Pameran tersebut dikuratori oleh Iswandi Bagindo Parpatih dan Dio Pamola.Sebanyak 37 perupa dari berbagai daerah ambil bagian dalam Wesvae, di antaranya berasal dari Sumatera Barat, Aceh, Riau, Jakarta, Yogyakarta, hingga Kalimantan Selatan. Karya-karya yang dipamerkan menghadirkan beragam medium dan pendekatan visual yang merefleksikan relasi manusia dengan alam, ingatan kolektif, serta kondisi sosial yang paradoksal.
Menurut Devid, secara tematik Wesvae memiliki irisan kuat dengan semangat kritik yang diusung Festival Sastra Marah Roesli. Keduanya sama-sama merespons isu kebencanaan, ketimpangan sosial, serta ironi yang muncul di tengah kehidupan masyarakat Indonesia.
“Tema ‘Hulu’ tidak hanya bicara soal geografis, tetapi juga tentang sumber persoalan. Ini sejalan dengan kritik sosial yang dibangun dalam festival sastra,” kata Devid.
Sementara itu, Festival Sastra Marah Roesli digelar selama empat hari, mulai Rabu hingga Sabtu, 17–20 Desember 2025, dengan pusat kegiatan di Gedung Kebudayaan Sumatera Barat. Festival tahun ini mengusung tagline “Negeri (dan) Ironi” yang merefleksikan kondisi sosial, budaya, dan kebangsaan melalui perspektif sastra.
Editor : Editor