Bencana alam kembali menyisakan duka di Sumatera Barat. Air bah menerjang permukiman, tanah longsor menimbun jalan dan rumah. Di tengah upaya penyelamatan dan pemulihan darurat, satu sektor kerap terpinggirkan dari perhatian utama: pendidikan anak-anak. Sekolah rusak, kegiatan belajar terhenti, dan ribuan siswa terpaksa menjalani hari-hari tanpa kepastian kapan mereka bisa kembali belajar secara layak.
Dalam situasi seperti ini, pendidikan seharusnya tidak diperlakukan sebagai urusan sekunder. Justru di tengah krisis, sekolah dan aktivitas belajar memiliki peran penting sebagai jangkar psikososial bagi anak-anak. Rutinitas belajar membantu mereka memulihkan rasa aman, membangun kembali harapan, dan menjaga kesinambungan masa depan. Ketika pendidikan terhenti terlalu lama, dampaknya bukan hanya akademik, tetapi juga sosial dan emosional—bahkan bisa berujung pada meningkatnya angka putus sekolah.
Sayangnya, pengalaman dari berbagai bencana menunjukkan bahwa pemulihan pendidikan sering datang paling akhir. Fokus negara dan masyarakat tersedot pada infrastruktur fisik dan bantuan logistik. Padahal, kerusakan pada sistem pendidikan adalah kerusakan jangka panjang yang efeknya baru terasa bertahun-tahun kemudian. Sumatera Barat kini berada di titik krusial: apakah pendidikan anak-anaknya akan menjadi prioritas pemulihan, atau kembali tertunda hingga perhatian publik bergeser?
Di tengah keterbatasan tersebut, peran aktor non-negara menjadi semakin relevan. Platform pendidikan berbasis teknologi seperti Schoolone memiliki posisi strategis untuk mengisi ruang yang belum sepenuhnya terjangkau oleh sistem formal. Dengan fleksibilitas pembelajaran daring dan jarak jauh, Schoolone berpotensi memastikan bahwa proses belajar tidak sepenuhnya berhenti, meski ruang kelas fisik rusak atau belum dapat digunakan.
Namun, konteks bencana menuntut lebih dari sekadar penyediaan platform digital. Aksi nyata yang dibutuhkan adalah pendekatan yang berpihak pada kondisi korban bencana. Anak-anak di wilayah terdampak tidak sedang berada dalam situasi belajar ideal. Mereka menghadapi trauma, kehilangan, dan ketidakstabilan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, model pembelajaran yang ditawarkan harus adaptif, sederhana, dan empatik—bukan sekadar memindahkan kurikulum normal ke layar gawai.
Di sinilah Schoolone diuji, bukan hanya sebagai penyedia layanan pendidikan, tetapi sebagai entitas sosial. Sejauh mana Schoolone mampu menyesuaikan diri dengan keterbatasan akses internet? Bagaimana dengan anak-anak yang tidak memiliki perangkat belajar? Apakah ada skema kolaborasi dengan sekolah, relawan pengajar, atau pemerintah daerah untuk menjangkau kelompok paling rentan? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan agar kehadiran teknologi pendidikan tidak berakhir eksklusif dan elitis.Lebih jauh, peran Schoolone semestinya dilihat sebagai bagian dari ekosistem pemulihan pendidikan, bukan solusi tunggal. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci. Pemerintah daerah membutuhkan mitra yang gesit dan inovatif. Sekolah membutuhkan dukungan agar tidak kehilangan murid. Masyarakat membutuhkan kepastian bahwa masa depan anak-anak mereka tetap diperhatikan. Schoolone dapat mengambil peran sebagai penghubung—mengintegrasikan teknologi, sumber daya manusia, dan kebutuhan lapangan secara konkret.
Bencana di Sumatera Barat juga membuka ruang refleksi yang lebih luas tentang kesiapsiagaan pendidikan nasional. Ketergantungan pada sistem konvensional terbukti rapuh saat krisis datang. Platform seperti Schoolone memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa transformasi digital pendidikan bukan sekadar wacana modernisasi, melainkan kebutuhan nyata dalam situasi darurat. Namun, transformasi itu hanya bermakna jika disertai komitmen keberpihakan pada mereka yang paling terdampak.
Masyarakat Sumatera Barat dikenal dengan nilai gotong royong dan daya lenting sosial yang kuat. Nilai ini seharusnya menjadi landasan bagi semua pihak yang ingin terlibat dalam pemulihan, termasuk Schoolone. Kehadiran di tengah bencana tidak cukup berhenti pada simbol kepedulian atau program jangka pendek. Yang dibutuhkan adalah konsistensi, keberlanjutan, dan kesediaan mendengar suara warga terdampak.
Pada akhirnya, di antara air bah dan reruntuhan, yang benar-benar dipertaruhkan adalah masa depan anak-anak Sumatera Barat. Pendidikan adalah jembatan menuju pemulihan jangka panjang, bukan sekadar pelengkap setelah krisis berlalu. Schoolone, bersama negara dan masyarakat, dihadapkan pada pilihan penting: membiarkan jeda pendidikan menjadi luka baru, atau menjadikannya titik awal perubahan.
Editor : Editor