Dari mana bisa menambah pendapatan? Maksimalisasi potensi pendapatan. Pajak benar tonggak utama, namun masih banyak aliran dan sumber pendapatan negara. Bangsa yang besar dengan penduduk terbesar dan perokok terbanyak ini pastlah meninggalkan celah. Artinya, sudahkah cukai tembakau/rokok ini termaksimalkan. Sepertinya, Menkeu Purbaya melihat cukup banyak "rokok gaib" yang beredar dan lolos dari income cukai. Begitu juga pendapatan dari cukai cukai lainnya.
Lama di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi bekal bagi Menke Purbaya dalam melihat kondisi riel dilikuditas. Relatif sulitnya likuiditas di pasar keuangan juga ikut menyandungi funding (Dana Pihak Ketiga) dan landing (distribusi Kredit). Naik bertahapnya suku bunga (BI Rate) dalam sepuluh tahun belakangan jelaslah sebuah pertanda. Likuiditas sulit, dana mahal, kreditpun terpaksa lebih selektif dan kurang kompetitif.
Menkeu Purbaya melihat itu, ada anomali dalam likuiditas ini. Di pasar likuiditas sulit sementara di bank central likuiditas mengendap. Ada tumpukan dana ratusan triliun yang bersumber dari Giro Wajib Minimum (GWM) Perbankan. Dana ini memang diatur oleh regulasi dan wajib ditempatkan sebagai "barier" ketika terjadi kegagalan operasional perbankan. Selain sebagai "sikoci", pos GWM ini juga berfungsi sebagai talangan (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Menkeu Purbaya sepertinya sudah menghitung berapa dana minimum yang harus di stand bykan di GWM dan berapa yang bisa diputarkan kembali. Dari perhitungan inilah akhirnya Menkeu menghelontorkan Rp 200 Triliun ke empat Bank Himbara dalam bentuk Dana Pihak Ketiga.
Bagi bank, kehadiran "durian runtuh" dalam skala besar adalah "rejeki nomplok" sekaligus "musibah". Kenapa? Kehadiran dana besar dari DPK jelaslah berdampak pada besaran asset, intermediasi. Semuanya itu akan bermuara pada Tingkat Kesehatan Bank (TKB) diujung bulan dan diakhir tahun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun "terpaksa" bekerja keras pula menjadi "wasit" agar perbankan tidak menerobos Trafigh light regulasi perbankan.
Sepertinya, Menkeu Purbaya "memaksa" para Direksi dan operasional bank himbara keluar dari "zona nyaman". Guyuran likuiditas memaksa pimpinan untuk bekerja keras agar tingkat kesehatan bank tetap terjaga baik. Direksi dan tim operasional bank harus "memeras" keringat memutarkan funding besar dari govermance agar ratio Kualitas Aktiva Produktif (KAP) tetap terjaga.
Itu tantangannya. Dari sisi benefitnya, perbankan (himbara) tidak terlalu pusing dalam memikirkan funding. Cost of fund selaku biaya utama operasional sebuah bank sudah mampu ditekan. Bunga yang didapatkan rendah otomatis akan membuat kredit lebih kompetitif. Artinya, kalau membeli 4 persen maka menjual setidaknya diangka 9 persen. Toh 5 persen adalah operasional, cadangan resiko dan cadangan laba. Kalaulah bunga kredit benar benar bisa diwujudka "single digit" seperti ini maka turn over ekonomi dipastikan bisa berjalan. Kebangkitan ekonomi tinggal menunggu waktu. Keinginan untuk mencatatkan pertumbuhan ekonomi diatas 7 persen diyakini akan bisa direalisasikan.Muara akhir inilah yamg ingin di kejar Menkeu Purbaya. Kebijakan "memaksa dan melibat" pelaku ekonomi untuk membangkitkan ekonomi adalah keputusan tepat dan bijak. Betul, negara punya kewajiban menggerakan roda ekonomi namun warga negara dan pelaku ekonomi juga memiliki kewiban yang sama. Mari bersama sama kita bangkit, mari bersama sama kita kerja keras dan mari pula bersama sama kita memutar otak, he he he.
Guyur jugalah BPD SI
Langkah kreatif Menkeu Purbaya tentulah meninggalkah celah. Sudah takdir alam bahwa keputusan selalu menghadirkan dua sisi. Ada yang beruntung dan ada pula yang bakal kesandung.