"Kasus ini menegaskan bahwa demokrasi tidak hanya soal siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi juga tentang bagaimana aturan main ditaati oleh semua pihak. Jika ada kandidat yang sejak awal tidak memenuhi syarat tetapi tetap diloloskan, maka konsekuensinya pasti akan menciptakan ketidakpastian politik seperti yang terjadi di Pasaman," ujar Kevin.
Selain itu, Kevin menyoroti peran KPU yang seharusnya bertindak sebagai garda terdepan dalam memastikan kelayakan calon kepala daerah.
Namun, dalam kasus ini, KPU justru melakukan kelalaian yang berdampak luas.
"KPU seharusnya menjadi benteng terakhir dalam memastikan bahwa setiap calon benar-benar layak untuk maju dalam Pilkada. Namun, dalam kasus ini, kita melihat adanya kelemahan dalam sistem verifikasi yang justru merugikan banyak pihak, termasuk pasangan calon lainnya dan masyarakat pemilih," jelasnya.
Menurutnya, dampak dari kesalahan ini tidak hanya dirasakan oleh Anggit Kurniawan yang akhirnya didiskualifikasi, tetapi juga Welly Suhery, pasangannya dalam kontestasi, yang hak politiknya turut terdampak.
Dengan adanya PSU, bukan hanya proses Pilkada yang terganggu, tetapi juga stabilitas politik dan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu di daerah.
"Keputusan MK ini pada akhirnya memaksa masyarakat untuk kembali ke bilik suara, yang artinya ada biaya politik, sosial, dan ekonomi yang harus ditanggung. Ini semua terjadi karena keteledoran yang seharusnya bisa dihindari sejak awal," tegasnya.Lebih jauh, Kevin menilai bahwa Anggit Kurniawan masih memiliki ruang untuk menempuh jalur hukum guna menuntut KPU atas kelalaian yang terjadi.
"Secara hukum, ada kemungkinan bagi Anggit untuk menggugat KPU ke PTUN karena dia bisa berargumen bahwa pencalonannya sejak awal tidak seharusnya disetujui.
Jika itu terjadi, maka ini akan menjadi preseden penting bahwa penyelenggara pemilu juga harus bertanggung jawab atas setiap keputusannya," kata Kevin.
Editor : Redaksi
