Oleh: Irdam Imran, Pemerhati Konstitusi dan Civil Society
Dalam pandangan masyarakat Minangkabau, kekuasaan bukanlah warisan, melainkan amanah. Amanah itu tidak hanya diukur oleh keberanian memimpin, tetapi oleh kesanggupan menegakkan keadilan dan menjaga marwah rakyatnya. Maka, ketika Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan mengambil tanggung jawab atas utang proyek kereta cepat Whoosh, masyarakat berharap langkah itu tidak hanya simbol tanggung jawab politik, tetapi juga titik balik untuk mengembalikan arah pemerintahan kepada supremasi konstitusi dan moral kenegaraan yang berkeadilan.
Proyek Whoosh yang dibiayai melalui pinjaman luar negeri kepada Tiongkok bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan cermin dari masa lalu yang sarat kepentingan elektoral dan kebijakan ambisius tanpa perhitungan sosial yang matang. Bila kini APBN harus menanggung cicilan utang tersebut, maka dampaknya tidak kecil:
- dana pembangunan desa bisa berkurang,
- anggaran pendidikan dan kesehatan bisa tertunda,
- dukungan bagi petani, nelayan, dan UMKM bisa terpangkas.Ketika utang negara dibayar dengan mengorbankan kepentingan rakyat, di situlah moral konstitusi mulai tergadai.
Dalam pandangan moral Minangkabau, utang seperti ini bukan lagi sekadar hutang uang, tapi hutang marwah bangsa. Karena bangsa yang merdeka tidak boleh hidup dari utang politik dan utang luar negeri yang menjerat generasi mendatang. Maka tugas besar Presiden Prabowo adalah memutus mata rantai antara utang politik dan utang negara, serta mengembalikan tata kelola ekonomi nasional pada prinsip kedaulatan dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Supremasi konstitusi sejatinya adalah bentuk modern dari ajaran adat:
“Alua jo patuik, nan bana ka ditampa, nan salah ka dibuek benar.”
Editor : Redaksi