Oleh: Irdam Imran, Mantan Birokrat Parlemen Senayan – Bukit Pauah, Tembok Bukittinggi
Penetapan Presiden Soeharto atau Pak Harto sebagai Pahlawan Nasional memang memunculkan pro dan kontra. Namun jika dilihat dari perspektif negara dan konstitusi, keputusan tersebut mencerminkan pengakuan atas jasa besar seorang pemimpin yang telah menegakkan kembali stabilitas nasional di masa sulit bangsa.
1. Perspektif Negara: Arsitek Pembangunan dan Penegak Stabilitas
Bagi negara, Pak Harto adalah arsitek pembangunan nasional yang berhasil mengubah Indonesia dari negara yang terpuruk pasca tragedi 1965 menjadi negara yang stabil secara politik dan tumbuh secara ekonomi.
Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mencapai swasembada pangan tahun 1984, pembangunan infrastruktur besar-besaran, serta sistem pemerintahan yang relatif tertib dan efisien.Presiden Soeharto pula yang menginisiasi program-program besar seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), REPELITA, Kredit Usaha Tani (KUT), serta pembangunan BUMN strategis yang hingga kini masih menopang ekonomi nasional.
2. Perspektif Publik: Antara Keberhasilan dan Luka Sejarah
Namun, sejarah tidak pernah tunggal. Di sisi lain, sebagian masyarakat melihat masa Orde Baru sebagai periode represi politik dan munculnya praktik KKN di lingkaran kekuasaan, terutama menjelang akhir kekuasaannya.
Seperti dikatakan oleh Prof. Andrinof A. Chaniago, pakar kebijakan publik dan mantan Kepala Bappenas,
“Keberhasilan pembangunan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari sistem sentralistik yang pada akhirnya menimbulkan ketimpangan dan melemahkan daya inovasi ekonomi daerah.”
Pandangan ini menegaskan bahwa warisan pembangunan Pak Harto memang monumental, tetapi juga menyisakan pekerjaan rumah besar dalam hal pemerataan dan reformasi birokrasi.
3. Perspektif Konstitusi: Hak Negara Mengakui Jasa
Dalam sistem kenegaraan, pemberian gelar pahlawan nasional adalah hak konstitusional Presiden melalui Keputusan Presiden, berdasarkan rekomendasi dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Editor : Redaksi