Pendidikan merupakan pondasi pembangunan manusia dan keadilan sosial. Namun, pembangunan pendidikan di Indonesia masih jauh dari merata, terutama di daerah 3T—Terdepan, Terluar, dan Tertinggal. Anak-anak di wilayah ini menghadapi kesulitan mengakses sekolah layak, guru berkualitas, dan fasilitas belajar memadai.
Ketimpangan ini memperkuat jurang sosial-ekonomi sekaligus menghambat potensi SDM lokal. Kondisi ini menegaskan bahwa pembangunan nasional belum menyentuh titik-titik paling pinggir republik.
Isu pendidikan di daerah 3T penting karena menyangkut keadilan sosial, pemerataan pembangunan, dan kualitas SDM Indonesia. Pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan afirmatif, namun efektivitasnya tetap perlu dievaluasi. Artikel ini mengulas keberhasilan, hambatan, dan rekomendasi kebijakan yang realistis untuk memperbaiki pemerataan pendidikan di 3T.
Gambaran Ketimpangan Pendidikan di Daerah 3T
Ketimpangan pendidikan di daerah 3T terlihat pada tiga aspek utama: infrastruktur, kualitas guru, dan partisipasi siswa.
1. Infrastruktur
Banyak sekolah di 3T belum memenuhi standar nasional. Sekolah sering kekurangan listrik, laboratorium, perpustakaan, atau koneksi internet. Hal ini membatasi proses belajar-mengajar. Kompas melaporkan ribuan sekolah mengalami kerusakan fisik dan kekurangan fasilitas dasar (Kompas, 2023).
2. Kualitas GuruDistribusi guru profesional tidak merata. Guru bersertifikat enggan ditempatkan di lokasi jauh dan minim fasilitas. Studi akademik menunjukkan retensi guru di daerah terpencil rendah karena insentif tidak sebanding dengan beban kerja (E-Journal Poltek Kampar, 2022).
3. Partisipasi Siswa
Anak-anak di desa terpencil menempuh perjalanan jauh, melewati medan sulit, atau bahkan menghadapi risiko untuk sampai ke sekolah. Kemiskinan memaksa anak-anak bekerja membantu keluarga sehingga rawan putus sekolah. Secara nasional, rata-rata lama sekolah 8–9 tahun, tetapi di daerah 3T masih tertinggal jauh (Kemendikdasmen, 2023).
Editor : Editor